Oleh Ridhazia
Entah apa yang terbersit dalam pikiran para petani di negeri ini kalau seluruh utangnya dilunasi presiden.
Seperti diberitakan, Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus kredit macet petani, nelayan, dan pelaku usaha mikro.
Kabar menggembirakan ini agar petani mendapatkan kembali akses modal ke perbankan.
Bermodal diputihkan, para petani setanah air bisa kembali mengutang untuk modal bertani berikutnya.
Skeptis
Niatan baik Sang Presiden hingga saat ini belum direalisasikan. Entah apa kendalanya. Tapi itung-itungan para pengamat ekonomi, kebijakan tang tampaknya praktis itu sulit diwujudkan dalam waktu-waktu dekat.
Bahkan rencana ini diusulkan untuk ditimbang kembali dengan hati-hati karena implementasinya bisa membuka celah korupsi dan kondisi.
Pemutihan utang petani dan nelayan itu diutarakan pertama kali oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo sekaligus adik Presdien Prabowo itu bukan kebijakan sederhana.
Petani yang menunggak utang ke perbankan ternyata ada 6 juta petani dan nelayan. Belum termasuk UMKM yang berdalih berutang untuk modal. Tapi kemudian macet alias menunggak.
Sebab pada tahun 2023, rencana serupa sudah diumbar sebagai janji politik. Tapi gagal dieksekusi. Angka yang harus dibayar besar. Juga data penunggak pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM ) tidak valid.
Kementerian keuangan memperkirakan data UMKM yang diperkirakan mencapai 60 juta. Datanya berantakan sehingga pemerintah kesulitan mengumumkan program restrukturisasi kredit.
Badan Pusat Statistik hanya mencatat jumlah rumah tangga petani di Indonesia sebanyak 27.368.975 keluarga, nelayan 2.773.538 orang, dan pelaku UMKM pada tahun 2023 mencapai 66 juta.
Hitung sendiri berapa triliun hanya untuk urusan utang yang dibayar presiden. Belum janji memberi bantuan untuk seluruh guru se-Indonesia yang belum terealisasikan.
Bukan mustahil, giliran PNS dan pensiunan menuntut restrukturisasi utangnya pada bank. Dan, seterusnya. Sementara urusan kenaikan upah buruh belum dituntaskan.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.