Oleh Budi Setiawan
DALAM sambutannya di acara apel akbar Kokam Muhammadiyah yang digelar di Solo, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pentingnya mencari pemimpin yang bisa melanjutkan pembangunan saat ini. Salah satu pernyataannya adalah soal pergantian kepemimpinan nasional yang menurut Jokowi jangan sampai berganti visi dan orientasi, yang mengakibatkan (pembangunan) harus mulai kembali dari awal (Kompas.com 20/09/2023). Intinya, Jokowi ingin pergantian pemimpin tidak harus mengganti visi pembangunan.
Kekhawatiran Pemimpin yang Berlalu
Mencermati pernyataan tersebut, tersirat Jokowi menyuarakan kekhawatiran atas isu-isu pada platform perubahan yang diusung salah satu kandidat calon presiden. Ini bukan pertama kali disuarakan Jokowi dalam beberapa kesempatan. Karenanya, kekhawatiran ini mencerminkan perasaannya terhadap perubahan yang potensial mengganggu arah yang ditetapkannya selama masa kepemimpinannya.
Di satu sisi, kekhawatiran itu wajar. Jelang pemilihan presiden semakin dekat, diskusi dan debat tentang visi dan arah masa depan negara seringkali menjadi sentral dalam politik. Pergantian visi dan orientasi pembangunan, di dalam pikiran Jokowi, dapat memakan waktu dan sumber daya yang signifikan. Bahkan, dapat menghambat kemajuan yang telah dicapai di masa kekuasaannya.
Keinginannya adalah agar pemimpin setelahnya dapat membangun pada pondasi yang telah dibangunnya dan terus memajukan pembangunan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Kurt Lewin, seorang psikolog sosial yang dikenal dengan kontribusinya dalam studi tentang perubahan organisasi dan manajemen perubahan, lewat bukunya Field Theory in Social Science: Selected Theoretical Papers (1951), mengembangkan model perubahan yang dikenal dengan “Tiga Tahap Perubahan Lewin.” Ketiga tahap ini disebut dengan siklus “unfreeze (membekukan)-change (merubah)-refreeze (pembekuan ulang).”
Visi Perubahan
Pernyataan Jokowi tentang tidak perlu mengganti visi dan orientasi pembangunan Indonesia dapat dianalisis pada tahap “unfreeze.” Pada tahap ini, Jokowi ingin menghentikan kebiasaan atau praktik lama yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan tujuan organisasi. Mengganti visi dilihatnya sebagai kebiasaan atau praktik lama yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan tujuan pembangunan Indonesia. Karenanya, pemimpin berikutnya harus membekukan (menghentikan) kebiasaan atau praktik lama tersebut agar dapat mengubah dan memperbaiki visi dan orientasi pembangunan Indonesia.
Hanya saja Jokowi melupakan satu hal, yakni dalam dunia politik perubahan adalah satu-satunya yang konstan. Perubahan pemimpin, perubahan kebijakan, dan pergeseran dalam prioritas politik sesungguhnya itu bagian integral dari proses demokrasi. Jadi, pernyataan Jokowi di atas ibarat menampar muka sendiri, karena ketika menggantikan rezim SBY, bukankah dia pun memiliki bekal visi tersendiri?
Setiap pemimpin baru memiliki pandangan dan prioritas mereka sendiri. Pemimpin baru dapat memilih untuk mengejar proyek-proyek yang berbeda atau menekankan aspek-aspek tertentu dari visi pembangunan yang berbeda.
Dalam sudut pandang manajemen perubahan dan perubahan organisasi, terdapat prinsip fleksibilitas dan adaptabilitas. Perubahan diperlukan guna mengatasi permasalahan atau peluang baru. Jadi, perubahan oleh pemimpin berikutnya tidak selalu harus dianggap negatif.
Pemimpin baru yang mengusung visi barunya bertujuan mengubah kebiasaan atau praktik kepemimpinan lama yang kurang efektif. Toh, kepemimpinan Jokowi tidak selamanya sempurna karena beberapa di antara visi kebijakannya juga ada yang menimbulkan kontroversi bahkan gejolak sosial. Sebut saja misalnya UU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law) yang hingga saat ini mendapat tentangan dari berbagai lapisan masyarakat.
Dalam kerangka kerja Lewin, tahap perubahan (change) menjadi salah satu bekal seorang pemimpin visioner. Tahap ini mencakup implementasi perubahan dalam budaya politik, seperti perubahan dalam norma-norma etika politik, tata nilai, atau praktik-praktik politik lama yang cenderung inkonstitusional. Tahap inilah yang saat ini dibutuhkan.
Hanya penting diingat, perubahan tak selalu harus berarti mengganti segalanya. Pemimpin baru harus memiliki strategi efektif dan dapat diimplementasikan dengan baik agar perubahan dapat membawa manfaat yang signifikan.
Karena itu, konsep “change” Lewin juga menekankan pentingnya merencanakan dan mengimplementasikan perubahan dengan hati-hati. Dalam konteks pernyataan Jokowi, pemimpin baru yang ingin mempertahankan kontinuitas perlu memiliki strategi perubahan yang matang. Mereka harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang dampak perubahan yang diusulkan dan bagaimana merancangnya agar dapat diimplementasikan dengan baik.
Dalam perspektif refreeze (pembekuan ulang) Lewin, pernyataan Jokowi menunjukkan adanya sikap ambivalensi karena seakan menilai perubahan belum bisa menjadi kebiasaan atau praktek umum di masyarakat. Pandangannya mencerminkan harapannya agar pemimpin baru harus memahami nilai dan pencapaian yang telah ada dan tidak memulai dari awal lagi. Padahal, selama hampir satu dekade ini, Jokowi telah membawa perubahan di berbagai sektor dibanding rezim sebelumnya.
Karena itu, sebagai pemimpin pemerintahan yang akan lengser, dia tidak semestinya khawatir penggantinya yang mengusung platform perubahan tak akan memberikan apresiasi dan pengakuan pada usaha pembangunan yang dilakukannya.
Jika ditelaah, model tahap “refreeze” Lewin, dalam konteks politik, ini mencerminkan bagaimana pemimpin baru setidaknya dapat memastikan bahwa perubahan yang diusulkan tidak hanya bersifat sementara, tetapi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya politik yang baru. Dengan begitu, pemimpin baru bisa fokus melakukan perubahan yang diimplementasikan di era Jokowi menjadi stabil, berkelanjutan, dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya organisasi pemerintahan yang baru. Ini mencakup perubahan dalam prosedur kerja, undang-undang, kebijakan, atau praktik-praktik yang menjadi norma dalam proses pengambilan keputusan.
Dapat kita simpulkan, dalam konteks kepemimpinan politik, pemimpin baru harus memiliki hak untuk mengusung visi kepemimpinan berorientasi perubahan guna membangun bangsa yang lebih baik. Teori perubahan organisasi Kurt Lewin dapat menjadi panduan dalam mengelola perubahan dan memastikan bahwa perubahan tersebut berhasil dilakukan.
Pemimpin baru harus mampu membekukan atau menghentikan kebiasaan atau praktik lama yang tidak efektif atau tidak sesuai dengan tujuan pembangunan Indonesia agar dapat mengubah dan memperbaiki visi dan orientasi pembangunan Indonesia. *
* Budi Setiawan, mantan jurnalis, kini pemerhati sosial politik, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.