Oleh Budi Setiawan
DALAM odisei politik, panggung kebangsaan menjadi arena yang semakin dipenuhi oleh melodi kesesatan etika. Seakan tak sadar, para pejabat terjebak dalam tarian niretika, mengabaikan harmoni etika kebangsaan yang seharusnya menjadi penuntun.
Dalam persembahan yang menggoda itu, kita menjadi saksi bisu akan pernyataan implisit yang merayu, seolah menyusun karya seni politik tanpa memperhatikan aturan. Bagai orkestra yang mengalunkan melodi terlarang, pejabat mengukir jejak kesesatan etika di atas panggung kekuasaan.
Sesekali, kita perlu merenung dengan bijak seperti yang dikatakan Albert Schweitzer, “Sejauh mana kita mendukung etika dalam tindakan, sejauh itu pula kita mengembangkan kehidupan sejati dalam diri kita.” Kasus pernyataan mendukung satu calon daripada yang lain oleh pejabat negara penting menandakan hilangnya pandangan akan etika kebangsaan yang seharusnya mewarnai setiap tindakan.
Dalam menjelajah labyrin etika, kita diingatkan oleh Immanuel Kant, “Dua hal mengguncangkan pikiranku dengan kekaguman dan rasa takjub: langit bintang di atas dan kewajiban moral di dalam.” Namun, para pejabat tampaknya lupa bahwa kewajiban moral adalah bintang yang harus terus mengarahkan langkah, bukan objek yang dapat diabaikan.
Pertunjukan ini semakin dramatis dengan terpingkal-pingkalnya demokrasi internal partai politik. Bagai puisi yang tercabik-cabik, prinsip keterbukaan dan demokrasi diabaikan. Seolah-olah, partai menjadi panggung bagi drama politik pribadi, tanpa memperhitungkan harmoni kolektif yang seharusnya membimbing.
Ketika melodi etika kebangsaan semakin memudar, kita harus bertanya pada diri sendiri sejauh mana kebijaksanaan kita mencerminkan kehidupan sejati. Seperti yang diungkapkan Søren Kierkegaard, “Etika, jika diartikan dengan benar, bukanlah hanya soal tahu apa yang harus dilakukan, melainkan tahu apa yang seharusnya kita lakukan.” Kasus-kasus niretika ini menciptakan sebuah ketidaksepakatan antara apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang sebenarnya terjadi di panggung politik.
Pada akhirnya, panggung kebangsaan adalah tempat di mana seharusnya prinsip etika bersinar. Namun, dalam ketergodaan niretika, kita terlena oleh melodi-melodi yang sesat.
Mari kita bangkit dan mengembalikan etika kebangsaan ke panggung utama, sehingga tarian niretika tak lagi mengusik ketenangan bangsa ini. Sebab, seperti yang diingatkan oleh Mahatma Gandhi, “Etika dan keagamaan seharusnya menjadi dua sisi mata uang yang sama.” Bagaimana kita memainkan sisi mata uang itu akan menentukan nasib bangsa ini ke depan.*
- Budi Setiawann, alumnus FISIP Unpad Bandung, pemerhati sosial politik dan mantan jurnalis, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.