
Oleh Ridhazia
Media sosial menjadi bagian dari gerakan sipil di Indonesia melawan kesewenangan penguasa atas rakyat. Media sosial meniscayakan melawan elit politik yang korup.
Platform digital Google dan Facebook Tiktok, FB, WA, Instragram dan X belakangan semakin ampuh ketimbang mengadu ke DPR.
Media sosial memungkinkan rakyat mengontrol rezim yang berkuasa. Juga menjadi model berpolitik praktis yang lebih cepat untuk melawan pejabat pemerintah dan penegak hukum yang menyeleweng ketimbang memobilisasi massa di jalanan.
Jalan Baru Politik
Jika dulu aksi jalanan atau bernarasi panjang di kampus-kampus efektif mempengaruhi kebijakan penguasa publik. Kali ini sudah usang.
Cukup dengan video dan foto di HP genggang atau kamera rahasia yang dipasang di kendaraan, seseorang sudah bisa merekam dan disebar di media sosial untuk menyuarakan hati nuraninya.
Seperti pernah dipaparkan Ronald Deibert kalau media sosial lebih efektif untuk menebar konten yang ekstrem, bermuatan emosi, dan memecah belah. Ketimbang bernarasi yang kompleks dan santun.
Demikian juga kata Ethan Zuckerman kalau media sosial bisa menghadirkan kesempatan kepada siapa saja untuk menyuarakan ketidakadilan politik setelah media mainstream kehilangan kuasa sebagai otoritas “pilar keempat” demokrasi.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Chadwick dan Howard (2009) bahwa media sosial telah berevolusi menjadi sistem komunikasi politik publik.
Aktivisme digital memungkinkan siapa pun dari kelas sosial mana pun, kapan pun, di mana pun, dan tanpa terbatas ruang dan waktu berpolitik praktis.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.