
Oleh Lia Kamilah
Fenomena akun Fufufafa yang akhir-akhir ini viral menjadi contoh nyata tentang bagaimana media sosial bisa dengan cepat berubah menjadi arena yang penuh kontroversi dan provokasi. Akun anonim seperti ini sering tidak hanya menyebarkan kritik, tetapi juga menjadi alat untuk menyerang lawan politik dengan cara yang tidak sehat.
Spekulasi yang mengaitkan akun ini dengan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, menambah bumbu kontroversi yang semakin memperkeruh suasana, terutama di tahun-tahun politik seperti sekarang.
Melihat bahwa keberadaan akun-akun anonim semacam Fufufafa ini menunjukkan betapa bahayanya media sosial jika digunakan tanpa etika dan tanggung jawab. Ketika sebuah akun menyebarkan informasi yang cenderung provokatif atau bahkan menghina, banyak orang cenderung bereaksi tanpa memeriksa fakta atau menganalisis konteks. Hal ini tentu berbahaya karena opini publik bisa dengan mudah dimanipulasi oleh informasi yang belum tentu benar, terutama di tengah situasi politik yang sensitif seperti menjelang Pemilu 2024.
Media sosial seharusnya bisa menjadi tempat untuk berdialog dan berbagi gagasan secara sehat. Namun, dengan adanya akun-akun yang menyebarkan kebencian atau menciptakan polarisasi, ruang digital ini justru menjadi ajang adu domba dan memperburuk perpecahan di masyarakat. Kita sebagai pengguna media sosial harus lebih bijak dan kritis dalam merespons informasi yang beredar, terutama jika informasi tersebut mengandung unsur provokasi atau fitnah.
Sebagai pribadi yang peduli dengan etika berkomunikasi di media sosial, perlu lebih berhati-hati dalam menyikapi isu-isu yang viral, terutama yang berkaitan dengan politik. Verifikasi informasi dan sikap kritis sangat diperlukan agar tidak ikut terperangkap dalam arus disinformasi yang hanya akan memperburuk polarisasi di masyarakat. Setiap tindakan atau unggahan di media sosial memiliki dampak luas, terutama ketika menyangkut figur publik atau isu sensitif.
Fenomena akun Fufufafa adalah pengingat bahwa kita harus lebih bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial. Alih-alih terjebak dalam drama dan kontroversi, kita seharusnya bisa menggunakan platform ini untuk berdiskusi secara lebih sehat dan konstruktif, serta membangun budaya komunikasi yang lebih beretika di ruang digital. *
* Lia Kamilah, peminat masalah sosial lingkup media digital, mahasiswa Prodi Jurnalistik Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung, bermukim di Kabupaten Garut, Jawa Barat.