Oleh Emeraldy Chatra
Penindasan kognitif terjadi apabila orang dibiarkan untuk tidak mampu berpikir kritis. Berpikir kritis itu membahayakan posisi penindas (oppressor).
Penindasan kognitif mulanya subur di negara-negara Eropa yang didominasi oleh gereja Katolik. Gereja memonopoli kebenaran, tak boleh dibantah. Fenomena ini berlangsung sampai era Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) yang memelorotkan kekuasaan gereja. Namun kemudian penindasan kognitif ini paling banyak terjadi di negara yang mengalami penjajahan atau kolonisasi.
Pada masa kolonial rakyat jajahan sengaja dibuat bodoh, tidak punya kemampuan berpikir, tidak boleh banyak bertanya dan hanya menerima apa yang disampaikan aparat kolonial. Pers pun dibungkam dan disensor agar tidak menularkan kecerdasan kepada rakyat.
Memang sekarang era kolonialisme fisik sudah berakhir. Kecuali di tanah Palestina. Tapi kenyataannya penindasan kognitif ini tetap terjadi di negara-negara post-colonial. Di antaranya di lembaga pendidikan. Di perguruan tinggi dosen dapat menjadi oppressor karena tidak mau dibantah atau dikritik oleh mahasiswanya.
Penindasan kognitif adalah warisan kolonial yang tidak banyak disadari apalagi didiskusikan di forum akademik. Berpikir kritis yang menjadi titik berangkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak jadi prioritas dalam pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi masih mementingkan kepatuhan sekalipun dosen menyampaikan pikiran yang keliru. Hegemoni negara penjajah tetap bertahan dan menimbulkan dampak yang luas di tengah masyarakat.
Seharusnya di lembaga pendidikan tinggi di negara yang sudah merdeka fenomena penindasan kognitif ini tidak boleh lagi ada. Mahasiswa harus difasilitasi untuk mempertanyakan segala sesuatunya, didorong untuk berpikir ketika mendengarkan atau membaca. Tidak boleh ada dosen yang membungkam mahasiswa yang suka mengajukan pertanyaan kritis.
Akibat dari penindasan kognitif mahasiswa, bahkan dosen pun, di negara post-colonial tidak mampu melihat kelemahan-kelemahan dari materi kuliah dan referensi yang diberikan kepada mereka. Dalam kondisi tidak mampu berpikir kritis itulah beragam teori yang datang dari negara maju atau ex-oppressor dianggap sebagai kebenaran tanpa cela.
Dengan bertahannya penindasan kognitif maka sikap kritis terhadap praktik-praktik kekuasaan, pengembangan industri, sistem politik, hukum dan sebagainya cenderung tidak berkembang. Penguasa menyukai sikap ‘nrimo’ yang tidak kritis karena tidak mengancam tindakan mereka. Padahal rendahnya sikap kritis juga membuahkan ancaman terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri sendiri.*
* Dr Emeraldy Chatra, M.Ikom, dosen senior dan Ketua Prodi S2 Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, pemerhati masalah komunikasi, budaya dan media, bermukim di Kota Padang, Sumatera Barat.