
Oleh: Entang Rukman ( Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter asal Amerika Serikat, dalam bukunya Educating for Character (1991), menegaskan bahwa pendidikan karakter adalah “upaya yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan berkomitmen pada nilai-nilai moral yang baik.” Pandangan ini relevan dengan upaya Indonesia menjunjung Pancasila, karena Pancasila sendiri adalah kumpulan nilai moral yang disepakati bangsa.
SETIAP– tanggal 1 Oktober bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Momentum ini bukan sekadar ritual tahunan, namun mengingatkan bahwa bangsa ini pernah tergoncang oleh upaya mengganti dasar negara. Namun Pancasila terbukti tetap tegak sebagai landasan bangsa. Pertanyaan pentingnya: bagaimana kesaktian itu dijaga agar tetap hidup di tengah derasnya arus perubahan zaman, khususnya melalui jalur pendidikan?
Pancasila sebagai Jiwa Pendidikan Nasional:
Sejak awal kemerdekaan, Pancasila ditempatkan sebagai ruh pendidikan nasional. Lima sila yang terkandung di dalamnya mencerminkan cita-cita luhur bangsa: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003) menyatakan tujuan pendidikan adalah membentuk manusia beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dengan demikian, pendidikan yang berpijak pada Pancasila tidak semata-mata mengembangkan kecerdasan intelektual, tetapi juga membangun karakter kebangsaan.
Suara Para Ahli tentang Pendidikan Karakter:
Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan karakter asal Amerika Serikat, dalam bukunya Educating for Character (1991), menegaskan bahwa pendidikan karakter adalah “upaya yang disengaja untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan berkomitmen pada nilai-nilai moral yang baik.” Pandangan ini relevan dengan upaya Indonesia menjunjung Pancasila, karena Pancasila sendiri adalah kumpulan nilai moral yang disepakati bangsa.
Di tingkat nasional, Cecep Darmawan, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia, dalam opininya di harian Media Indonesia (2022), menyatakan bahwa penguatan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan tidak boleh berhenti pada simbolisme. Ia menekankan perlunya menghidupkan Pancasila dalam praktik keseharian pendidikan agar benar-benar relevan dengan tantangan era digital dan globalisasi.
Selain itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai lembaga negara yang memiliki mandat khusus untuk membina dan menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila di seluruh lapisan masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Kehadiran BPIP menjadi pengingat bahwa Pancasila tidak hanya hidup dalam teks konstitusi, tetapi juga harus dipraktikkan melalui kebijakan pendidikan yang konsisten.
Tantangan Nilai di Era Digital:
Jika terlebih dahulu ancaman terhadap Pancasila hadir dalam bentuk ideologi yang terang-terangan menggantikan dasar negara, kini ancaman itu datang dalam bentuk yang lebih halus. Media sosial, misalnya, sering menimbulkan polarisasi, kebencian, dan hoaks. Budaya instan, individualisme, serta melemahnya rasa gotong royong menjadi tantangan nyata bagi generasi muda.
Opini yang dimuat di Pontianak Post (2024) misalnya, menyoroti krisis moral generasi muda dan menawarkan pendidikan berbasis Pancasila sebagai penjelasannya. Tulisan itu menegaskan bahwa hanya dengan menjadikan Pancasila sebagai akar pendidikan, Indonesia dapat menghasilkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter.
Sekolah sebagai Laboratorium Pancasila:
Dengan landasan teori dan pandangan para ahli tersebut, sekolah seyogianya menjadi laboratorium Pancasila. Guru sebagai teladan memainkan peran sentral—sebab pendidikan karakter lebih efektif melalui contoh nyata daripada sekadar nasihat.
Selain itu, nilai Pancasila dapat tertanam dalam seluruh mata pelajaran. Dalam pembelajaran sains misalnya, siswa bisa diajak merefleksikan dampak penelitian terhadap kemanusiaan. Dalam mata pelajaran seni, siswa belajar menghargai keberagaman budaya. Dalam kegiatan OSIS, musyawarah dan kepemimpinan demokratis bisa dipraktikkan.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila pun sebaiknya tidak hanya berupa upacara, melainkan dirangkai dengan kegiatan reflektif: penulisan esai, diskusi lintas siswa, hingga proyek sosial yang menumbuhkan kepedulian. Dengan cara itu, Pancasila tidak berhenti di kepala, tetapi juga menyentuh hati dan diwujudkan dalam tindakan.
Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah membimbing segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pernyataan itu sejalan dengan cita-cita Pancasila: membentuk manusia Indonesia yang beriman, beradab, dan berkeadilan sosial.
Hari Kesaktian Pancasila mengingatkan kita bahwa kesaktian itu bukan terletak pada teks semata, tetapi pada keberanian generasi kini untuk menghidupkannya. Pendidikan adalah cara paling strategis untuk itu. Jika sekolah dan guru berhasil mewujudkan Pancasila sebagai karakter bangsa, maka kita bukan hanya mengenang sejarah, melainkan juga sedang menyiapkan masa depan Indonesia yang tangguh, beradab, dan terlindungi. ** (Penulis Pembina Jurnalis SMPN-46 Bandung)