Oleh Budi Setiawan
DALAM orasi pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Perluasan Dimensi Keamanan Global: Keharusan Revisi Strategi Pertahanan Negara” pekan lalu (24/10), Guru Besar Keamanan Global pada FISIP Universitas Padjadjaran, Prof. DR Raden Widya Setiabudi Sumadinata, memaparkan bahwa dimensi keamanan global telah mengalami dinamika dan perluasan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perkembangan teknologi digital, perubahan iklim, dan globalisasi.
Perkembangan teknologi digital telah menciptakan berbagai ancaman baru, seperti serangan siber, propaganda, dan deep fake. Ancaman-ancaman ini dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas dan keamanan negara, termasuk Indonesia.
Pandangan Prof. Widya Setiabudi Sumadinata ini sejalan dengan pemikiran Barry Buzan, seorang pakar studi keamanan dari Copenhagen School. Buzan berpendapat bahwa ancaman global saat ini bersifat kompleks dan multidimensi. Ancaman tersebut tidak hanya bersifat militer, tetapi juga non-militer.
Bersama dengan Ole Waever, Buzan terkenal sebagai tokoh kunci di balik konsep keamanan dari perspektif konstruktivisme sosial. Keduanya menggagas pandangan baru tentang bagaimana faktor-faktor sosial dan konstruksi identitas mempengaruhi keamanan global. Buzan mengemukakan tentang pentingnya faktor-faktor seperti great power politics, teknologi, event, institutionalization, dan academic debate dalam mempengaruhi perkembangan studi keamanan.
Menarik untuk menyimak pandangan kedua pemikir keamanan global ini karena tercermin adanya pergeseran paradigma dalam melihat ancaman global kontemporer. Bila di di awal-pertengahan 90an muncul pemikiran bahwa konflik antar peradaban adalah ancaman global di dunia pasca Perang Dingin yang disampaikan Samuel Huntingto. Huntington berpendapat perbedaan nilai-nilai dan identitas antara peradaban-peradaban yang berbeda dapat menjadi sumber konflik dan kekerasan.
Dalam perspektif Huntington, teori “Clash of Civilizations” menekankan bahwa konflik global lebih cenderung terjadi antara kelompok-kelompok budaya atau peradaban (civilizations) ketimbang antara negara atau ideologi politik. Dia menegaskan bahwa setelah runtuhnya blok komunis, konflik-konflik utama akan lebih didasarkan pada perbedaan budaya, agama, dan identitas budaya yang mendalam.
Huntington mengidentifikasi sejumlah kelompok budaya besar, seperti Barat, Islam, Tiongkok, Hindu, dan lainnya. Ia memandang bahwa benturan antara kelompok-kelompok ini akan menjadi sumber utama konflik di era pasca Perang Dingin.
Pendekatan Huntington ini di awal kemunculannya telah menimbulkan beragam tanggapan dari kalangan akademisi dan praktisi internasional. Beberapa mendukung teorinya menganggapnya sebagai kontribusi penting dalam memahami dinamika konflik global, sementara yang lain mengkritiknya karena kesederhanaan konsepnya dalam menjelaskan kompleksitas konflik global.
Pertanyaan krusial yang melintas dalam benak penulis adalah sejauh mana pendekatan pemikiran Samuel Huntington, khususnya teori “Clash of Civilizations,” tetap relevan dalam memahami ancaman global saat ini?
Kian Kabur
Dalam era di mana teknologi dan pertukaran budaya global berkembang, relevansi teori “Clash of Civilizations” Huntington mungkin tampak kian kabur. Meskipun beberapa konflik global tampak terkait dengan perbedaan budaya dan agama, interpretasi sederhana dari konsep ini mungkin tidak sepenuhnya memperhitungkan kerumitan dan lapisan-lapisan yang terkandung di dalam dinamika konflik
Perkembangan teknologi, salah satu faktor yang ditekankan oleh Buzan, membawa hubungan yang lebih kompleks di antara berbagai peradaban. Hal ini menciptakan interaksi global yang lebih rumit dan terintegrasi, yang tidak selalu sesuai dengan gambaran konflik antar-peradaban yang ditegaskan oleh Huntington. Sebaliknya, munculnya konflik berskala lebih kecil yang lebih terkait dengan kepentingan lokal atau regional.
Keberagaman pandangan dan perbedaan identitas yang semakin rumit juga menyoroti ketidakmungkinan untuk mereduksi konflik global menjadi pertentangan antara beberapa blok peradaban. Terdapat lapisan-lapisan konflik yang lebih rumit dan beragam di tingkat lokal dan regional, yang tidak selalu cocok dengan kerangka pemikiran yang disajikan teori “Clash of Civilizations.”
Ancaman non-militer
Sementara itu, Buzan berpendapat bahwa ancaman global saat ini bersifat kompleks dan multidimensi. Ancaman tersebut tidak hanya bersifat militer, tetapi juga non-militer. Buzan juga berpendapat bahwa ancaman global tidak hanya berasal dari negara-negara besar, tetapi juga dari aktor-aktor non-negara, seperti kelompok teroris, organisasi kriminal, dan kelompok kepentingan tertentu.
Dunia saat ini juga tengah menghadapi berbagai ancaman baru, seperti ancaman teknologi dan kejahatan siber. Ancaman-ancaman ini dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas dan keamanan negara, termasuk Indonesia.
Ancaman teknologi dapat berupa serangan siber, propaganda, dan deep fake. Serangan siber dapat dilakukan untuk mencuri data, merusak infrastruktur, atau menyebarkan informasi palsu. Propaganda dapat digunakan untuk menyebarkan kebencian dan memecah belah masyarakat. Deep fake dapat digunakan untuk menyebarkan berita bohong atau untuk mendiskreditkan tokoh tertentu.
Ancaman kejahatan siber juga dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian dan masyarakat. Bahkan dapat menyebabkan kerugian finansial, gangguan operasional, dan hilangnya kepercayaan masyarakat.
Butuh Adaptasi
Pergeseran pemahaman keamanan global ini memiliki implikasi penting bagi kebijakan keamanan negara. Negara-negara perlu beradaptasi dengan ancaman global yang semakin kompleks dan multidimensi. Upaya untuk menghadapi ancaman global perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Beberapa upaya pendekatan komprehensif dalam keamanan global, semisal dalam penanggulangan terorisme, kini tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan, tetapi juga melibatkan sektor ekonomi, sosial, dan budaya. Sementara dalam masalah penanggulangan perubahan iklim, sebagai sebuah ancaman global yang dapat berdampak pada berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, dan kesehatan, perlu upaya penanggulangan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dunia. Hal lain adalah penanggulangan pandemi karena pandemi kini menjadi ancaman global yang dapat berdampak pada kesehatan, ekonomi, dan sosial.
Kita mencermati pergeseran pemahaman keamanan global dari Huntington ke pemikiran Buzan terjadi karena perkembangan zaman. Dunia saat ini telah menjadi lebih kompleks dan terhubung.
Meskipun demikian, dalam beberapa hal pemikiran Huntington masih relevan. Pertama, konflik antar peradaban masih dapat terjadi, meskipun tampaknya tidak lagi menjadi ancaman global saat ini. Kedua, perbedaan nilai-nilai dan identitas masih berpotensi menjadi sumber konflik dan kekerasan.
Karenanya, upaya meningkatkan pemahaman dan toleransi antar peradaban masih perlu dilakukan untuk mengatasi ancaman global dari konflik antar peradaban.
Pergeseran pemahaman keamanan global ini memiliki implikasi penting bagi kebijakan keamanan negara. Negara-negara perlu beradaptasi dengan ancaman global yang semakin kompleks dan multidimensi. Upaya menghadapi ancaman global tetap perlu dilakukan secara komprehensif dan melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Penerapan pendekatan komprehensif dalam keamanan global membutuhkan komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak. Negara-negara perlu bersinergi dan bekerja sama secara efektif untuk menghadapi ancaman global yang semakin kompleks dan multidimensi. *
- Budi Setiawan, mantan jurnalis salah satu media terkemuka di Jakarta, pemerhati sosial dan politik, alumnus FISIP Unpad Bandung, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.