Opini

Strategi Komunikasi & Personal Branding Pustakawan di Era AI

“Kita Tidak Mati. Kita Beradaptasi”

127views

(Menyambut Acara Seminar Nasional & Rakornas PP GPMB 2025)

Responsi atas tulisan “Kita Tidak Mati.Kita Beradaptasi” karya Yogi Hartono

 

Oleh : M Kh Rachman Ridhatullah Ketua 1 PP GPMB 2023-2027

 Kalau teman-teman pustakawan tidak berbicara tentang masa depan perpustakaan, maka orang lain yang akan menuliskan kisahnya — dan mungkin, menghapusnya.”

TULISAN– Yogi Hartono di sebuah Grup WA Alumni FIKOM UNPAD Multi-Angkatan, telah mengingatkan kita pada satu hal penting bahwa perpustakaan tidak mati — ia beradaptasi. Namun di tengah derasnya arus digital dan munculnya kecerdasan buatan (AI), pertanyaannya kini berubah : Bagaimana pustakawan bisa tetap relevan, menarik, dan diperhitungkan?

Adaptasi memang penting, namun kini kita memerlukan langkah yang lebih berani, yaitu transformasi. Di era AI, citra pustakawan tidak bisa lagi berhenti dalam bayangan klasik “penjaga buku di ruang sunyi.”
Kini, pustakawan adalah navigator pengetahuan, kurator data, sekaligus fasilitator kreativitas.
Dan untuk memainkan peran itu, diperlukan strategi komunikasi dan personal branding profesi yang kuat, kolaboratif, dan visioner.

 Dari Ruang Sunyi ke Ruang Publik

Selama ini, pustakawan identik dengan ruangan tenang dan rak buku tinggi. Namun di era informasi terbuka, ruang komunikasi pustakawan harus keluar dari dinding perpustakaan. Pustakawan perlu hadir di berbagai kanal publik: menulis opini di media, membuat podcast tentang literasi digital, aktif di media sosial, atau bahkan tampil di forum kebijakan pendidikan. Karena literasi tidak tumbuh di rak buku — ia tumbuh di percakapan. Inilah saatnya pustakawan berbicara lantang tentang data, pengetahuan, dan literasi. Komunikasi bukan lagi pelengkap profesi; ia adalah strategi eksistensi.

 Personal Branding : Wajah Baru Literasi Digital

Di zaman yang diatur oleh algoritma, branding itu penting. Kita tidak bisa berharap masyarakat menghargai pustakawan jika mereka tidak mengenalnya. Personal branding bukan soal narsisme, tapi tentang menjadi wajah kredibel dari literasi. Pustakawan era AI harus bisa menampilkan dirinya sebagai :

  • Knowledge navigator – pemandu masyarakat menelusuri lautan informasi digital.
  • Kurator Kebenaran – penjaga akurasi di tengah banjir hoaks.
  • Innovation Enabler – fasilitator kolaborasi dan riset kreatif.

Personal branding yang kuat membuat pustakawan tidak hanya dikenal, tetapi dipercaya.
Dan kepercayaan adalah bentuk modal sosial baru di era digital.

Transformasi Kelembagaan : Kolaborasi atau Kolaps

Transformasi perpustakaan tidak bisa dijalankan sendiri. Ia harus menjadi gerakan bersama, sebuah ekosistem kolaboratif antara pustakawan, dosen, peneliti, komunitas, dan industri kreatif. Bayangkan perpustakaan masa kini sebagai :

  • Creative hub – ruang kolaborasi lintas disiplin.
  • Innovation lab – tempat eksperimen riset dan prototyping.
  • Content studio – sarana produksi konten literasi digital.

 

Untuk menuju ke sana, dibutuhkan strategi komunikasi kelembagaan yang solid :

  • Bangun narasi baru à Perpustakaan adalah masa depan pendidikan, bukan sebuah bangunan peninggalan masa lalu.
  • Bentuk jejaring strategis dengan media, komunitas digital, dan lembaga riset.
  • Jadikan setiap pustakawan sebagai brand ambassador institusinya.

 

Jika tidak, perpustakaan akan tetap relevan — tapi diam. Dan dalam dunia yang bergerak cepat, diam adalah bentuk baru dari hilang.

 Pustakawan Harus “Ngonten”

Ya, ngonten. Karena dunia hari ini dikuasai oleh visual, narasi singkat, dan kecepatan atensi.
Pustakawan tidak bisa hanya menunggu pengunjung datang; perpustakaan harus datang dulu ke publik.

Buat video pendek tentang cara mencari sumber data kredibel. Tampilkan review buku inspiratif atau tutorial penggunaan repository. Atau bikin podcast ringan tentang pentingnya berpikir kritis di era AI. Generasi muda tidak akan datang ke perpustakaan kalau perpustakaan tidak datang ke mereka dulu. Lewat konten yang kreatif dan konsisten, pustakawan bisa menjadi wajah baru gerakan literasi. Tidak perlu jadi selebritas digital — cukup jadi figur yang autentik, edukatif, dan dipercaya.

 Kolaborasi : Bahasa Baru Inovasi

Era AI bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling mampu berkolaborasi. Pustakawan harus berani membangun jejaring lintas profesi :

  • Bersama dosen dan peneliti dalam data-driven research.
  • Bersama jurnalis dalam data literacy movement.
  • Bersama startup dalam digital knowledge hub.

Kolaborasi ini bukan hanya strategi bertahan, tapi cara baru untuk menulis ulang peran pustakawan dalam ekosistem pengetahuan nasional.

 Dari Adaptasi ke Kepemimpinan

Tulisan Yogi Hartono memberi pijakan penting : kita tidak mati, kita beradaptasi. Tapi langkah berikutnya adalah memimpin arah perubahan. Pustakawan masa depan bukan sekadar pengelola informasi, tapi pemimpin peradaban baru — yang menjaga agar pengetahuan tetap manusiawi di tengah dunia yang semakin algoritmik. Karena jika kita tidak menulis bab baru profesi ini,
maka AI-lah yang akan menuliskannya — tanpa empati, tanpa makna. Dan kita tahu,
perpustakaan tanpa empati bukanlah masa depan yang kita inginkan.

 Epilog :

Kita Tidak Mati. Kita Terus Berkembang.

Perpustakaan bukan ruang sunyi. Ia adalah ruang hidup — tempat ide tumbuh, data dipertanyakan, dan manusia belajar menjadi lebih bijak. Di era AI, pustakawan bukan sekadar bagian dari sistem pengetahuan. Mereka adalah jantungnya: yang memastikan pengetahuan tetap punya arah, nilai, dan nurani.

Jadi, mari terus berbicara, berkolaborasi, dan bertransformasi. Karena benar kata Simbah Darwin : yang bertahan bukan yang terkuat, tetapi yang paling mampu beradaptasi — dan berkomunikasi. ** Bandung, 6 Oktober 2025 Episode Senja Penuh Rona Jingga

 

Leave a Response