Oleh Budi Setiawan
Sebentar lagi Joko Widodo harus beranjak dari panggung kekuasaan. Hitungan mundur kurang dari tiga minggu, masa jabatannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia akan berakhir. Tapi, alih-alih tenang dalam menyongsong masa pensiunnya, kegelisahan justru menghantui Jokowi. Apa yang ia wariskan? Apakah itu kemajuan atau justru beban yang harus dipikul oleh penerusnya, Prabowo Subianto, dan lebih parah lagi, oleh rakyat Indonesia?
Ambil contoh proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kini tampak setengah matang. Di awal, Jokowi berambisi mencatat sejarah sebagai pemimpin visioner yang memindahkan ibu kota negara. Tapi kenyataan terakhir, proyek tersebut penuh dengan masalah pendanaan dan penundaan yang tak kunjung selesai. Sesuai dengan teori Mesquita (2003), proyek-proyek seperti ini sebenarnya adalah strategi untuk mengalokasikan sumber daya guna memperkuat dukungan koalisi politik, bukan semata-mata demi kepentingan rakyat. Ketika masa jabatan semakin menipis, alih-alih tuntas, proyek ini malah terancam menjadi beban bagi Prabowo dan tentu saja, rakyat Indonesia yang harus menanggung konsekuensinya.
Jika melihat langkah-langkah terakhir Jokowi, ada kesan kuat bahwa ia sedang berusaha keras untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan meski masa jabatannya habis. Seperti yang dijelaskan Mesquita dalam The Logic of Political Survival (2003), para pemimpin kerap mengambil tindakan yang lebih fokus pada memperpanjang pengaruh dan kekuasaan mereka, bukan menciptakan perubahan nyata. Jokowi tampaknya tidak terkecuali dari teori ini.
Warisan politik Jokowi, di bawah teropong kritis, bukanlah keberhasilan, melainkan deretan problem yang siap meledak kapan saja. Dari masalah polemik soal keluarga yang tak kunjung surut dalam pantauan publik, hingga dinamika politik yang memanas di akhir kepemimpinannya, Jokowi seolah melemparkan persoalan-persoalan yang tidak ingin ia selesaikan kepada kepemimpinan berikutnya. Ada kesan kuat bahwa ia sedang mempersiapkan “exit plan” yang lebih berupa strategi bertahan ketimbang pengunduran diri dengan terhormat.
Yang lebih menarik adalah kegigihan Jokowi untuk tetap relevan setelah kekuasaannya berakhir. Menurut Mesquita, para pemimpin akan menjaga koalisi “pemenang” mereka, bahkan setelah turun dari jabatan, untuk memastikan pengaruh politik mereka tetap kuat. Begitu pula Jokowi. Ia tampaknya berusaha keras untuk menjaga agar para pendukungnya tetap berada di lingkaran kekuasaan dalam pemerintahan Prabowo. Apakah ini demi menjaga warisan atau demi memperpanjang pengaruh politik pribadi? Entahlah. Yang jelas, “koalisi pemenang” Jokowi tampak siap untuk terus beroperasi di balik layar kekuasaan.
Dengan gaya satir, kita bisa bertanya-tanya, apakah Jokowi akan dikenang sebagai presiden pembangun atau pemimpin yang meninggalkan beban berat? Warisan kekuasaannya adalah teka-teki yang mungkin baru akan terjawab oleh sejarah. Namun, yang pasti, beban itu sudah dirasakan lebih dulu oleh rakyat.
* Budi Setiawan adalah mantan jurnalis senior media ibukota, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung.