
Oleh: Ridhazia
SEJUMLAH penelitian mencoba memecahkan asal usul kuntilanak, sosok hantu perempuan misterius berambut panjang, mengenakan baju putih, serta kerap tertawa cekikikan yang kerap ditingkahi gonggongan anjing.
Sesuatu yang menyeramkan itu di Tanah Sunda malah digambarkan memiliki punggung berlubang. Untuk menangkal hantu kuntilanak muncul ada kalau perempuan yang hamil di daerah ini “wajib” membawa peniti, paku, pisau, atau gunting.
Antropologis
Seorang antropolog asal Jerman, Timo Duile secara khusus mengungkap asal usul dan bagaimana kuntilanak sangat populer di Indonesia bisa menteror manusia.
Penelitian itu berjudul “Kuntilanak: Ghost Narratives and Malay Modernity in Pontianak, Indonesia” yang dipublikasikan Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia pada 2020.
Apa hasilnya?
Ternyata secara antropologis kuntilanak tak lebih sebagai sosok bayang-bayang akibat ketakutan manusia pegunungan dengan pohon tinggi merujuk pada mitos dan cerita rakyat yang telah mengakar kuat dalam budaya Indonesia.
Kuntilanak yang dipercaya sebagai arwah penasaran dari perempuan yang meninggal saat hamil atau melahirkan dan anaknya belum sempat lahir digambarkan sebagai roh pendendam. Lalu mencari pembalasan atas tragedi yang menimpanya semasa hidup.
Kepercayaan kuno itu tenyata menjadi legenda ini berakar dari mitologi Hindu kuno, yang dikenal sebagai Yakshi, setan perempuan yang menghantui kuburan dan memicu rasa takut mendalam.
Disebutkan sang peneliti, mitos dan misteri Kuntilanak juga terkait asal-usul Kota Pontianak di Kalimantan Barat. Kata Pontianak sendiri berasal dari bahasa Melayu ‘Ponti’ yang berarti pohon tinggi pada era kehidupan animisme.
Hantu Feminim
Periset Nadya Karima Melati berjudul “Monsterisasi Perempuan dan Monoteisme” yang melakukan riset kuntilanak sejak 2013 memaparkan jawaban menarik.
Menurut Nadya, sosok kuntilanak berubah tidak menjadi terlalu seram karena kedatangan agama monoteisme yang menolak adanya sosok spiritual lain selain Tuhan.
Pandangan roh kemudian bergeser menjadi hantu atau monster. Bahkan agama monoteisme diperkenalkan bersamaan perubahan konsep patriarki yang maskulin dengan hantu yang feminim.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.




