Catatan Media

Membangun Data Culture (2)

377views

Prinsipnya, budaya data harus melalui Journey of Data Culture yang  meliputi mempertanyakan sesuatu,  menggali data, menganalisis data, dan menceritakan (asking questions, gathering data, analyzing data, dan telling). Analisis data yang dilakukan juga mempunyai nilai sendiri, yakni what happen (descriptive analytics), what did it happen (diagnostic analytic), what will happen (predictive analytic), how can we make it happen (prescriptive analytics) (www.labs.webfoundation.org).

What happen mengandung kronologi peristiwa, tak sekadar menulis ujung atau pangkalnya saja. Dengan demikian sebuah berita yang berdasarkan data memberikan informasi penuh kepada khalayak. Dalam kajian ini sumber data sering disebut dokumen. Dokumen umumnya statis, tidak mudah berubah. Dokumen ini oleh jurnalis diolah menjadi data yang bersifat dinamis,  kemudian menjadi informasi dan akhirnya menjadi pengetahuan. Dengan demikian nilai what happen berupa upaya jurnalis untuk melakukan descripctive analytics,  yakni proses data analitis untuk mendapatkan gambaran umum dari data yang sudah dikumpulkan.

Contoh dari analytcs desckriptif adalah Google Analytics. Pada Google Analytics kita hanya bisa melihat informasi sederhana seperti ada berapa jumlah visitor per satuan waktu, halaman mana saja yang paling sering dikunjungi, dan data seperti itu. Pada analitis sederhana seperti penjumlahan dan rata-rata tanpa machine learning sudah lebih dari cukup. Descriptive analytics  tidak menampilkan prediksi halaman apa yang akan dikunjungi pengunjung berikutnya atau kenapa seorang pengunjung mengunjungi suatu halaman. Data analitis jenis ini adalah yang paling umum ditemui. Meskipun hanya data sederhana tanpa pengolahan machine learning, data seperti ini sangat diperlukan terutama untuk melakukan benchmarking guna mengetahui efek dari perubahan yang kita lakukan.

Nilai kedua what did it happen yang memerinci apakah perjalanan dari dokumen menjadi data lantas menjadi informasi berita dan menjadi pengetahuan itu berlaku untuk publik? Inilah mengapa materi berita harus bersifat aktual, publisitas, dan universal sehingga sebuah berita harus melalui proses analisis diagnosisnya.  Standar karakteristik media massa tetap melekat pada nilai kedua ini.

Nilai berikutnya adalah what will happen, apakah yang akan terjadi. Nilai budaya data ketiga ini intinya seorang jurnalis harus mampu memprediksi apa yang akan terjadi dengan pemberitaan yang ditulis. Dulu John Naisbit terkenal dengan buku Mega Trend 2000. Buku ini terbit sebelum memasuki tahun 2000 lalu dan terkenal saat itu dengan ‘2K’. Buku Naisbit kala itu menjadi rujukan para pemimpin berbagai Negara melihat kecenderungan dunia setelah tahun 2000. Apakah Naisbit  seorang peramal (forecaster)? Bukan, ternyata pengakuan John Naisbit dia mampu menulis buku tersebut karena membaca sebanyak 72 koran di Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa. Di sini terlihat bagaimana seorang John Naisbit mampu menulis Mega Trens 2000 karena mendapatkan data dari Koran sebanyak 72. Hal ini membuktikan bahwa what will happen terbukti menjadi nilai jurnalisme data. Budaya data mampu memprediksi apa yang terjadi melalui data, bukan ramalan supranatural.

Jadi, analytics predictive adalah data analytics yang memberikan hasil prediksi tentang sesuatu yang akan datang. Contoh dari analytics predictive adalah sistem rekomendasi yang diapakai di situs e-commerce Amazon. Dari data pengunjung dan pembelian maka bisa diperkirakan barang apa saja yang pengunjung sekiranya tertarik untuk membeli. Pada analitis jenis ini mulai diperlukan timachine learning untuk menafsirkan data yang telah dikumpulkan sehingga tidak bisa langsung melakukan operasi penjumlahan atau rata-rata seperti pada analisis deskriptif. Analytics prediktif bisa dibilang setingkat lebih tinggi dari analytics deskriptif karena prosesnya lebih kompleks dan rumit. Meskipun demikian analytics deskriptif tetap diperlukan antara lain sebagai benchmark. Pada kasus sistem rekomendasi untuk menunjukkan bahwa algoritma rekomendasi sudah memberikan hasil maksimal (openbigdata.wordpress.com).

 

Nilai terakhir budaya data adalah how can we make it happen. Pada nilai keempat ini Analytics preskriptif adalah proses analisis yang menghasilkan jawaban atas pertanyaan kenapa sesuatu akan terjadi serta memberikan saran terhadap kondisi yang kemungkinan akan terjadi di masa yang akan datang. Karena kemampuannya inilah analytics preskriptif sangat diperlukan oleh top-level manajemen dalam mengambil keputusan. Dalam prosesnya cukup sulit untuk membuat sistem yang menggunakan analytics preskriptif, mengingat algoritmanya harus benar-benar dapat melihat yang tak terlihat dari hasil dua analisis sebelumnya. Selain itu juga mempertimbangkan semua opsi untuk pengambilan keputusan. Untuk mencapai hal ini machine learning sudah pasti menjadi hal yang mutlak digunakan.

Menurut Dinita Andriani Putri (Open Data Lab) jenis data yang umum ditemui dibagi menjadi:

Data yang diperlukan pada Jurnalisme Data adalah data terstruktur. Jika ada data yang masih tidak terstruktur maupun yang semi terstruktur maka seorang jurnalis harus mampu mengolahnya untuk menjadi informasi. Itulah penting untuk kalangan jurnalis memahami  penggunaan software Excell. Dengan program ini jurnalis bisa mengolah data (misalnya proyek yang ada di pemerintah) secara benar. Proses mengolah dokumen proyek yang ada di pemerintah disbut scrapping, atau kalau jurnalis menyebutnya ‘pembersihan data’, yakni proses mengolah dokumen proyek menjadi data untuk keperluan pemberitaan.

Bagaimana seorang jurnalis bisa mendapatkan data untuk kegiatan peliputannya? Sesuai dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) muncul istilah Data Terbuka, yakni

data yang tersedia dengan bebas bagi setiap orang untuk diakses, digunakan, diubah dan dibagikan untuk tujuan apa pun …” (http://opendefinition.org/. Contohnya pemerintah mempunyai lembaga bernama LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah). Cikal bakal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bermula dari sebuah unit kerja bernama Pusat Pengembangan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Publik (PPKPBJ)sebagai unit kerja eselon II. Dibentuk pada tahun 2005, unit kerja ini bertugas menyusun kebijakan dan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, memberikan bimbingan teknis dan advokasi terkait pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, serta memfasilitasi penyelenggaraan ujian sertifikasi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah. Melalui LKPP seorang jurnalis bisa mendapatkan dokume lelang. Tapi dokumen lelang ini belum bisa dijadikan bahan berita sebelum dilakukan ‘scraping’. Untuk itulah seorang mau tidak mau harus memahami penggunaan excel yang mempunyai 14 rumus untuk bisa ‘membersihkan data’. Setelah data sudah ‘dibersihkan’ maka seorang jurnalis bisa mengambil dokumen tersebut karena sudah menjadi data dan informasi untuk ditulis jadi berita.

Gambar di atas menunjukkan bahwa ada data yang tertutup bisa dibersihkan menjadi data terbuka. Maka penting untuk kalangan jurnalis mampu melakukan pembersihan data untuk membuat sebuah data bisa ‘bicara’ sehingga mudah dimengerti pembaca. Sebab, pembaca tidak mungkin bisa ‘membaca’ data mentah dari LPKK atau LPSE (di kota atau kabupaten) jika jurnalis belum melakukan scraping.

Mengapa kini data pemerintah terbuka seperti halnya yang disediakan oleh LKPP? Di LKPP tidak semua data bisa diakses karena ada data yang berbayar. Artinya, kalau seorang jurnalis ingin mendapatkan data tersebut harus mengeluarkan uang meskipun tidak besar. Yang jelas dengan UU KIP maka seorang jurnalis bisa mendapatkan data terbuka yang bisa diolah menjadi informasi bahan berita.

Dari paparan pendahuluan dan pembahasan tersebut ada beberapa yang bisa disimpulkan. Pertama, membangun budaya data bertujuan untuk menciptakan tatanan jurnalisme data untuk memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam eksplorasi data. Kedua, dengan membangun budaya data membantu jurnalis memaparkan berita dengan lebih baik, lebih akurat, dan lebih kredibel. Ketiga, dengan membangun budaya data memungkinkan perspektif baru dalam melihat data dan memaparkan informasi menjadi berita yang kredibel.

Mengapa jurnalisme data? Karena dengan konsepsi jurnalisme data para jurnalis menyaring informasi. Saatnya jurnalis berusaha keras ‘mengolah’ data, tidak hanya ‘mengumpulkan’ data. Dengan berpedoman budaya data akan menghasilkan analisis berita yang komprehensif dan mandiri dan  meningkatnya kebutuhan visualisasi informasi dalam bentuk infografik dan lainnya.

Semua harapan ada tantangannya. Untuk pengembangan budaya data dan jurnalisme data tantangannya  ada tiga, pertama mencari tahu di mana dan bagaimana dokumen bisa  diperoleh? Kini pemerintah sudah menyediakan LKPP dan LPSE sehingga kalangan jurnalis bisa mendapatkan dokumen. Kedua, pahami apa yang dapat dipelajari dari data ini? Apakah datanya valid dan dapat dipertanggungjawabkan? Jika sudah dipahami berulah dioleh menjadi informasi dan berita. Untuk itu penting para jurnalis mampu mengoperasikan software excell. Ketiga, mengolah dokumen menjadi data kemudian dimasak lagi sehingga terbentuk informasi dan dikemas dalam bentuk berita yang disampaikan kepada khalayak.***

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi bandungpos-newsnetwork.com, mengajar di Prodi Fikom Universitas Islam Bandung.

Leave a Response