Oleh Ridhazia
Studi yang menelaah fenomena relasi eksekutif-legislatif dalam sebuah sistem presidensial sebagaimana di Indonesia tidak terlalu jelas. Padahal di negeri ini sistem politik yang diberlakukan memberi ruang bagi terwujudnya multipartai.
Artinya, dalam sistem presidensial keberadaan koalisi serta oposisi sebagai keniscayaan. Keberadaan oposisi dalam sistem sejatinya diterima karena sistem partai yang terfragmentasi yang memungkinkan relasi politik legislatif – eksekutif lebih seimbang.
Tapi….
Menjadi oposisi itu susah susah mudah. Harus terbentuk menjadi pribadi reaktif sekaligus pribadi yang sensitif. Mudah tersinggung dan tergolong pemarah. Dan itu semua terlatih.
Makhluk oposisi yang cenderung reaktif menurut sebuah studi dilahirkan sekaligus sebagai anak asuh keluarga. Atau, karena hidup dalam posisi sosialnya termarjinalkan. Bisa pula karena “ditakdirkan” selalu memilih posisi berbeda agar dianggap berbeda.
Korban perubahan?
Oposisi memosisikan diri sebagai korban perubahan. Hampir sulit mengembangkan inisiatif. Apalagi menerima kenyataan dengan segala kekurangan. Sementara dia lebih sering menunggu apa yang terjadi. Dan, berubah saja jika perlu saja.
Logikanya manusia jenis spesial ini cenderung terperangkap kebenaran yang ia ciptakan sendiri. Merasa lebih hebat. Dirinya merasa tanpa cacat tanpa cela. Tapi membiarkan suasana hati dan perasaan menjadi liar. Persis seperti yang ia imajinasikan. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.