Oleh Emeraldy Chatra
Kaum Bolshevik di bawah pimpinan Lenin, Stalin dan Trotsky berusaha mengubah sistem yang berlaku di Uni Soviet dengan kekerasan. Istilah lainnya, revolusi. Kekerasan yang menelan korban jutaan jiwa menjadi resep utama dalam proses perubahan itu.
Tindakan keras pemerintah baru Uni Soviet kemudian direplikasi oleh Mao Zedong di China. Jutaan orang pula jadi korban. Mereka yang tidak menerima ide perubahan harus meregang nyawa, dibunuh Tentara Merah karena dianggap menghalangi revolusi.
Sekarang di angkasa Indonesia juga berkumandang kata perubahan. Ada calon presiden yang menjual ide perubahan dan disambut pendukungnya dengan gegap gempita.
Tapi hampir dapat dipastikan perubahan yang dikumandangkan di Soviet dan Cina tidak sama dengan yang terdengar di Indonesia. Bila di Soviet dan Cina perubahan mempunyai landasan teoritis-konseptual dan ideologi yang jelas dan kuat, di Indonesia kata perubahan berkumandang tanpa kejelasan: entah perubahan seperti apa yang dimaksud. Tak jelas pula bagaimana metode yang akan dipakai.
Perubahan itu suatu keniscayaan kalau mau bergerak maju. Dengan demikian anti perubahan sama saja dengan status quo.
Masalahnya, apa yang dibutuhkan dalam sebuah perubahan?
Dalam tulisan ini saya menawarkan instrumen-instrumen yang menjadi basis bagi perubahan. Tawaran ini tentu dapat didebat dan dikritik agar menjadi lebih baik.
Pertama, kejelasan tentang makna perubahan itu bersifat mutlak. Harus jelas secara konseptual dan metodologis. Tidak cukup hanya disebut dan menjadi retorika politik. Harus jelas berubah dari mana ke mana. Harus jelas siapa yang akan menerima keuntungan dan kerugian dari perubahan itu.
Tanpa kejelasan konseptual dan metodologis kata perubahan akan menjadi pepesan kosong belaka. Hanya akan memenuhi ruang imajinasi rakyat, tanpa pernah jadi realitas sebagaimana diinginkan.
Kedua, komitmen kolektif (rakyat) yang super kuat untuk berubah. Perubahan harus menjadi cita-cita bersama yang diwujudkan ke dalam kemauan menjalani proses perubahan dengan resiko apapun.
Di Soviet dan China perubahan tidak didukung oleh komitmen kolektif. Rakyat tidak siap untuk berubah, sekalipun mereka mimpi dapat hidup lebih baik. Keinginan berubah dengan cepat dan komprehensif hanya ada dalam nafsu penguasa. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya tindakan represif yang luar biasa. Rakyat jadi objek, bukan subjek dari perubahan.
Ketiga, pengorganisasian kekuatan rakyat. Harus ada upaya yang ekstra keras mengakumulasikan kekuatan rakyat yang terpecah-pecah. Kekuatan itu kemudian disalurkan kepada sebuah organisasi yang rapi. Dengan organisasi inilah kekuatan rakyat untuk perubahan menjadi aktif.
Mengakumulasikan kekuatan rakyat memang tidak mudah. Sejumlah orang yang berperan sebagai pemersatu harus bergerak bersama membangun kesadaran kolektif. Mereka musti mempunyai keahlian berkomunikasi, menguasai teknik-teknik persuasi dan kampanye.
Ujung dari usaha tersebut rakyat merasa diri mereka subjek perubahan. Dengan memposisikan rakyat sebagai subjek perubahan semua kesalahan yang pernah terjadi, baik di Soviet maupun China, dapat dikurangi. Perubahan tidak perlu menelan korban jiwa sampai jutaan karena jumlah pembangkang dapat ditekan sedemikian rupa. *
- Dr Emeraldy Chatra, M.I.Kom adalah Ketua Program Magister (S2) Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.