Opini

Pegiat Literasi ; Bersimpuh Dijalan yang Teduh

Pegiat Literasi ; Bersimpuh Dijalan yang Teduh

49views

Bambang Prakoso
Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS, Pegiat Literasi.

Literasi adalah jalan sunyi, bagi siapa saja yang mengkarab’inya maka bersiap untuk kesepian, tidak banyak orang benar-benar berangkat dari kejernihan meneropong persoalan rumit kebangsaan yang disebut literasi ini. Membangun literasi pada ruang hampa sering kita temui seperti seminar di Hotel dan Gedung mewah “menyeminarkan kebodohan” dan tidak berdampak pada sikap dan laku masyarakat, kerana sesungguhnya persoalan tidak disitu tapi diakar rumput, ditengah masyarakat.

“Bersimpuh dijalan yang teduh” premis kebudayaan yang menggambarkan posisi pegiat literasi, pegiat literasi harus sudah selesai dengan dirinya kalau belum maka tidak mungkin menguarai persoalan diluar dirinya. Rumi, mengatakan “Aku mencintai permasalahanku karena aku tahu yang memberiku permasalahan juga mencintaiku” penyair dan sufi mashur ini mengajak kita bertumpu pada sebuah kesadaran keilahian dalam bertindak.

Literasi adalah jalan sunyi, bagi siapa saja yang mengkarab’inya maka bersiap untuk kesepian, tidak banyak orang benar-benar berangkat dari kejernihan meneropong persoalan rumit kebangsaan yang disebut literasi ini. Membangun literasi pada ruang hampa sering kita temui seperti seminar di Hotel dan Gedung mewah “menyeminarkan kebodohan” dan tidak berdampak pada sikap dan laku masyarakat, kerana sesungguhnya persoalan tidak disitu tapi diakar rumput, ditengah masyarakat.

Langkah konkrit literasi harus ditempuh, harus mengambil posisi, berlumur keringat, menceburkan diri larut ditengah masyarakat. Dalil dan teori penting tapi yang lebih utama adalah Tindakan. “Perkecilah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia, Tiadakan dirimu, maka jati dirimu akan terungkap tanpa kata-kata” kata-kata Rumi ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Lembaga-lembaga penyelenggara selebrasi dan perayaan literasi harus lebih literet dibanding pegiat supaya tidak berjarak dengan esensi literasi.

Literasi itu bukan sekedar membaca tetapi juga mampu memahami, menganalisis, memahami persoalan, dan tau jalan keluarnya. Idealnya pegiat literasi harus memenuhi syarat minimal finansialnya cukup supaya tidak kemana-mana membawa proposal dan permintaan-minta, jika itu terjadi maka selain tinggi rendahnya martabat pegiat juga mereduksi pemahaman literasi. Selain itu juga harus mempunyai daya belajar dan pengetahuan yang baik.

Muara dari literasi adalah nilai luhur yaitu keseimbangan intelektual, spiritual, dan estetika. Jangkauan pengetahuan harus mumpuni “gila baca” secara tekstual maupun kontekstual. Spiritual bukan soal Masjid, Murni, Gereja tapi akhlaknya bisa juga disebut kesalehan sosial bukan kegenitan sosial. Estetika soal daya rawat keindahan, kejernihan perilaku, sikap diruang sosial yang menjernihkan ruang publik.

Pegiat literasi juga harus memahami konsep literasi lain dengan belajar disekolah yang instruksional, mengukur nilai, memberikan ijazah dan gelar, sebenarnya belajar adalah kegiatan manusia secara sadar yang paling tidak membutuhkan manipulasi manusia lain. Pandangan kritis Ivan Illich, cara terbaik belajar untuk kebanyakan manusia adalah melebur bersama sesuatu yang ingin dipelajari. Literasi bukan sekedar rutinitas formal tapi juga sikap mental yang diakrab’i pegiat literasi.

Literasi adalah jembatan meyebrangi jurang sosial yang masih curam dinegeri ini, sekaligus menyapa hati yang redup, yang tak punya cita-cita dan misi dalam hidup. Dunia Pendidikan semakin mahal, sudah menjadi komuditi medium transaksional pemerintah dan rakyat, misalnya yang bisa kuliah yang kaya atau pintar lalu dapat beasiswa, bagaimana dengan yang bodoh dan miskin, ikut siapa? mereka belum sepenuhnya mendapatkan haknya, mereka tenggelam dalam kemiskinan, kemiskinan dan keterpinggiran.

Literasi memanusiakan manusia, menumbuhkan harkat dan martabat, tidak mengemas pengetahuan, tidak ada transaksi jual beli paket SKS. Pegiat literasi biasanya menghibahkan pikiran, tenaga, dan hartanya membuat gerakan, Taman Baca, Pojok baca, dan seterusnya ini sikap mental yang jarang diajarkan diruang kelas. Tidak ada kurikulum adanya kitab peradaban, belajar bisa dimana saja, gurunya siapa saja, waktunya kapan saja, inilah universitas kehidupan. Literasi mereduksi dehumanisasi ditengah masyarakat dan menjadi penjernihan diruang publik karena bertumpu pada kesadaran kolektif. Literasi adalah sajadah panjang untuk bersimpuh diajalan yang teduh. **B ambang Prakoso
Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS, Pegiat Literasi. Bertempat tinggal di Surabaya, Jawa Timur

Leave a Response