Opini

Pandangan Orang Awam Tentang Kemerdekaan Palestina : Refleksi Kepolosan Arti Kemerdekaan dan Keadilan

Di warung kopi sudut pos kamling, di tepi trotoar jalan dekat pasar, atau di teras rumah sempit di gang-gang kawasan padat hunian, ada percakapan sederhana yang sering terdengar : “Kok bisa ya, orang Palestina belum juga merdeka?”

33views

Oleh : M Kh Rachman Ridhatullah (Penikmat Kemerdekaan Hidup di Kawasan Padat Hunian Tanjung Priok)

 Di warung kopi sudut pos kamling, di tepi trotoar jalan dekat pasar, atau di teras rumah sempit di gang-gang kawasan padat hunian, ada percakapan sederhana yang sering terdengar : “Kok bisa ya, orang Palestina belum juga merdeka?”

KALIMAT– itu tampak biasa. Tapi di balik kesederhanaannya, tersimpan logika dan perasaan yang kuat. Orang kecil mungkin tak hafal batas wilayah, tak paham resolusi PBB, tapi mereka tahu satu hal : tidak adil bila satu bangsa terus hidup di bawah penjajahan.

Mereka tak berbicara dengan bahasa diplomatik, namun hati mereka punya tata logika sendiri — logika nurani yang lahir dari pengalaman panjang bangsa ini : kita pernah dijajah, pernah kehilangan kedaulatan, pernah tahu rasanya hidup di tanah sendiri tapi tak berdaulat atas nasib sendiri.

 Makna Kata & Logika Nurani

Bagi rakyat kecil, kemerdekaan bukan kata agung yang hanya dibahas di sidang atau buku sejarah. Merdeka itu sederhana : bisa tidur tanpa takut bom, bisa menanam tanpa takut tanah dirampas, bisa mengajari anak tanpa suara sirene perang.

Merdeka berarti bisa hidup di tanah sendiri dengan tenang. Dan siapa pun yang pernah dijajah tahu betapa mahalnya hal sederhana itu. Karena itulah, bagi orang-orang kecil di negeri ini,
Palestina bukan sekadar berita luar negeri. Ia adalah cermin dari luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Ketika mereka melihat anak-anak Palestina berlari di bawah puing,
ada sesuatu dalam diri mereka yang bergetar : seperti melihat bayangan masa lalu sendiri.

Orang kecil tak butuh teori untuk memahami kemanusiaan. Logika mereka lahir dari nurani yang belum berkarat oleh kepentingan. Bagi mereka, tidak perlu alasan rumit untuk berpihak pada yang tertindas. Cukup tahu mana yang manusiawi, mana yang tidak.

Mereka tak bicara soal geopolitik, tapi mereka tahu rasa lapar, rasa takut, rasa kehilangan.
Dan dari rasa itulah muncul empati paling jujur. Sementara banyak orang di dunia membungkus kejahatan dengan kata “keamanan”, orang kecil tahu bahwa tidak ada keamanan sejati tanpa keadilan. Tidak ada damai yang lahir dari penjajahan.

 Hak Kemerdekaan & Solidaritas Berbangsa

Kita sering lupa bahwa kemerdekaan Indonesia tidak datang sebagai hadiah, melainkan diperjuangkan dengan darah dan doa. Begitu juga Palestina — mereka tidak meminta belas kasihan, mereka menuntut hak yang sama : hak untuk hidup merdeka, menentukan masa depan sendiri.

Maka kepedulian orang kecil pada Palestina bukan sekadar soal agama. Ia adalah gema nurani manusia yang masih ingat rasanya dijajah. Mereka tahu : jika kita menikmati kemerdekaan tanpa membela bangsa lain yang tertindas, maka kemerdekaan kita sendiri kehilangan maknanya.

Bangsa yang pernah dijajah tapi membiarkan penjajahan terjadi lagi, adalah bangsa yang lupa pada sejarahnya sendiri. Ada sesuatu yang istimewa dari cara rakyat kecil menjaga solidaritas. Mereka mungkin tak punya banyak harta, tapi mereka punya rasa yang tak bisa dibeli.

Anak-anak TPA mengumpulkan koin untuk Palestina. Pedagang kecil menempelkan stiker Pray for Palestine di gerobak jualannya. Petani menyelipkan doa di sela-sela azan magrib. Itu bukan sekadar belas kasihan, tapi bentuk pengakuan bahwa kemerdekaan sejati tak bisa dinikmati sendirian. Selama masih ada bangsa yang ditindas, kita semua belum benar-benar merdeka.

Mungkin kita tak bisa menghentikan perang, tak bisa menembus tembok politik dunia yang dingin dan beku. Tapi kita bisa menjaga hati agar tidak ikut membatu.
Kita bisa menjaga api kemanusiaan agar tidak padam. Karena saat kita berhenti merasa,
saat itulah penjajahan menemukan tempat baru — bukan di tanah orang lain, tapi di dalam hati kita sendiri.

Palestina mengingatkan kita untuk terus manusia, untuk tidak kehilangan kepekaan di tengah dunia yang sibuk membenarkan kekerasan. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang bendera yang berkibar, tetapi tentang hak setiap manusia untuk hidup tanpa takut.

Di antara segala hiruk-pikuk dunia modern, Palestina menjadi cermin bagi bangsa yang telah merdeka :  Apakah kita masih memiliki hati yang peduli? Apakah kemerdekaan yang kita nikmati setiap hari masih berjiwa kemanusiaan?

Orang kecil di negeri ini mungkin tak punya kuasa, tapi mereka memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga : kemurnian rasa keadilan. Dan selama mereka masih peduli,
selama mereka masih menyebut nama Palestina dalam doa, maka dunia belum sepenuhnya kehilangan harapan.

Karena kemerdekaan sejati tidak berhenti pada batas tanah air, tapi meluas sejauh hati manusia mampu merasa. Dan selama hati itu masih hidup, Palestina — dan kemanusiaan — tak akan pernah benar-benar dapat dikalahkan oleh kekuatan apapun. **

Leave a Response