Oleh Askurifai Baksin
“Di dunia sekarang ada berbagai macam cara untuk menunjukkan kemampuan atau kompetensi lulusan” (Nadiem AnwarMakarim)
JAGAT pendidikan tinggi minggu pertama September 2023 sedikit tergoncang, gegara pernyataan Menteri Pendidikan dan Ristek Nabiel Makarim yang menyebutkan pendidikan jenjang S1 (sarjana) tidak perlu menulis skripsi, sementara untuk jenjang S2 (Magister) tidak perlu membuat tesis, dan khusus untuk S3 (doktoral) juga tidak harus mengirim artikel ilmiah ke jurnal bereputasi internasional. Pro kontra pun bermunculan dari berbagai penjuru dan penulis mencoba menulis perihal ini berdasarkan video liputan SCTV yang sudah beredar.
Sejak beberapa tahun perihal perlu tidaknya mahasiswa S1 membuat skripsi sudah bergulir. Namun baru kali ini Mas Menteri menyatakannya secara gamblang.
Secara rinci Mas Menteri mencoba membandingkan konsep lama dan konsep baru. Misalnya konsep lama bidang kompetensi jika yang lama dirinci detil sementara konsep yang baru tidak lagi dijabarkan secara rinci. PT dapat merumuskan kompetensi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan secara teriintegrasi. Tugas akhir bisa berbentuk prototype, proyek atau bentuk lainnya, tidak harus skripsi, tesis, dan disertasi. Jika program studi sarjana/ sarjana terapan sudah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk lain yang sejenis maka tugas akhir dapat dihapus/ tidak lagi bersifat wajib. Mahasiswa program magister/ magister terapan/ doktor/ doktor terapan wajib diberikan tugas akhir tapi tidak wajib diterbitkan di jurnal.
Dari itu semua menurut Mas Menteri program studi dapat menentukan bentuk tugas akhirnya masing-masing. Selain itu dapat menghilangkan kewajiban tugas akhir pada banyak program studi sarjana/ sarjana terapan. Dampak lainnya mendorong perguruan tinggi menjalankan kampus merdeka dan berbagai inovasi pelaksanaan Tridharma PT.
Dari paparan Mas Menteri, benang merahnya sudah jelas, yakni program studi yang sudah menerapkan Project Based Learning maka tidak wajib membuat skripsi. Alasannya jelas bahwa jika kita ingin menunjukkan kompetensi seorang dalam suatu bidang yang teknikal apakah penulisan karya ilmiah yang dipublish secara saintifik sebagai cara yang tepat untuk mengukur kompetensi dia dalam teknikal skill itu, tentu tidak. Misalnya Prodi konservasi lingkungan apakah yang mau dites kemampuan menulis skripsinya atau secara saintifik yang mau dites kemampuan mengimplementasi project di lapangan. Contoh-contoh ini menurut Mas Menteri harusnya bukan Kemendikbudristek yang menentukan tapi Kepala Prodi punya kemerdekaan untuk menentukan bagaimana caranya mengukur standar kelulusan kecapean mereka.
Jadi, untuk beberapa Prodi yang merasa proses mereka sudah dengan project dan sudah ada pembuktian hasil kompetensi tugas akhir maka tidak wajib lagi mahasiswanya membuat karya tulis. Yang diyakinkan bukan badan akreditasi tapi mahasiswanya yang terlibat langsung di lapangan.
Sementara untuk magister S2 dan doktoral S3 terapan wajib diberikan tugas akhir tapi tidak lagi wajib diterbitkan di jurnal. Intinya, Mas Menteri ingin memberikan kepercayaan kembali kepada setiap kepala Prodi, dekan-dekan dan kepala departemen untuk menentukan cara-cara lain untuk membuktikan hasil lulusan tidak membebani mahasiswa dan berdampak positif terhadap program MBKM.
Perihal penyederhanaan standar proses pembelajaran yang tadinya diatur secara spesifik satu SKS itu tatap muka 50 menit, penugasan terstruktur 60 menit, kegiatan mandiri 60 menit dan semuanya berkontribusi kepada IPK. Kekakuan kebijakan ini sudah tidak relevan lagi di era dimana banyak mahasiswa ke luar kampus mengerjakan hal-hal lain. Mereka mengerjakan projek atau mereka mendapatkan suatu sertifikasi kompetensi di mana tidak ada angka dari sertifikasi kompetensi, adanya dia menyelesaikan dan berhak mendapatkan sertifikasi kompetensi.
Dampak AI di Bidang Pendidikan
Kebijakan Kemendikbudristek ini kaitannya dengan AI (artificial aintellegnce) cukup erat, mengingat AI memiliki potensi untuk merevolusi dunia pendidikan. AI dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, membuat proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien, serta membuka akses pendidikan bagi semua orang.
Manfaat pertama, AI dalam pendidikan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. AI dapat digunakan untuk memberikan pembelajaran yang lebih personal dan adaptif kepada setiap mahasiswa. AI dapat melacak kemajuan mahasiswa secara individual dan memberikan umpan balik yang relevan. AI juga dapat digunakan untuk mengembangkan konten pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing mahasiswa.
Manfaat kedua, membuat proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien: AI dapat digunakan untuk mengotomatiskan tugas-tugas yang tidak penting, seperti memberikan tugas, memeriksa jawaban, dan memberikan umpan balik. Hal ini dapat membebaskan waktu dosen untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih penting, seperti mengembangkan kurikulum dan menjalin hubungan dengan mahasiswa.
Manfaat ketiga, membuka akses pendidikan bagi semua orang: AI dapat digunakan untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada orang-orang yang tidak memiliki akses ke pendidikan tradisional. Misalnya, AI dapat digunakan untuk mengembangkan platform pembelajaran online yang terjangkau dan mudah diakses.
Dengan berkembangan AI seperti Chat GPT dan Bard semua unsur pendidikan yang tadinya susah menjadi mudah. Melalui teknologi IA ini seorang mahasiswa jika membuat tugas makalah akan mudah dilakukan. Sampai menulis skripsi pun sebetulnya jika mau dilakukan menggunakan AI menjadi mudah. Apalagi dengan proses parafrasa yang sudah dikembangkan melalui quilbot atau rytr.me seorang mahasiswa mampu memproduksi teks ilmiah hanya dengan menambahkan referensi yang relevan.
Jadi, pernyataan Mas Menteri bukan serta merta menghapus skripsi, tesis, dan disertasi di masing-masing jejang pendidikan tapi harus disesuikan dengan jenis prodi di masing-masing satuan pendidikan. Jika sudah berbasis proyek atau pedidikan terapan (vokasional) tentu mudah menentukan apakah tugas akhir bisa prototype atau bentuk lain selain skripsi. Namun bagi prodi yang belum berbasis proyek dan tugas akhir di lapangan tentu status skripsi belum RIP. Jadi, kebijakan Dekan dan Kaprodi harus mampu memetakan tingkat capaian kompetensi para lulusannya agar mudah diterima di masyarakat dan dunia kerja, tak sekadar ijazah.**
*Penulis pemimpin redaksi bandungpos-newsnetwork.com, mengajar di Fikom Unisba