Gaya Hidup

Kartini-2025

Kartini-2025

88views

Oleh  Muhammad Subhan

Kartini hari ini bukan lagi satu sosok. Ia menjelma menjadi banyak. Ia hadir dalam ibu yang mengajar PAUD/TK, dll sambil menjahit. Dalam remaja desa yang mengajarkan coding kepada anak-anak. Dalam gadis kecil yang berani mengatakan, “Aku ingin menjadi ilmuwan”.

JIKA- – Kartini hidup hari ini, ia mungkin tak lagi mengirim surat panjang ke Eropa. Ia akan menulis utas viral di Twitter (X). Atau mungkin membuat konten video TikTok tentang pentingnya pendidikan untuk anak-anak perempuan di desa-desa.

Ia akan membuka ruang dialog di Instagram  Live . Menjawab komentar satu per satu dengan hati sabar. Menyyuarakan perubahan dengan gaya yang dekat, hangat, dan tetap tajam.

Mungkin ia tak menyebut dirinya “pegiat” atau “aktivis”. Tapi semua tahu, dia sedang menggerakkan zaman.

 

Kartini adalah cahaya dalam gelap. Ia hidup dalam sepi, namun pikirannya menembus langit.

 

Dunia berubah. Tapi perempuan masih sering terkurung. Bukan lagi oleh tembok adat, tapi ekspektasi yang terus memburu. Perempuan harus sempurna. Cantik, cerdas, patuh, lembut, ambisius, dan sabar.

Semuanya sekaligus. Dari film perjuangan Kartini belum selesai.

Di era digital, emansipasi punya bentuk baru. Ia tampil dalam kampanye media sosial. Dalam  webinar  pendidikan. Dalam gerakan literasi yang dirintis ibu-ibu kampung yang membuka taman baca. Dalam suara buruh migran yang menulis puisi di sela lelah.

 

Kartini hari ini bukan lagi satu sosok. Ia menjelma menjadi banyak. Ia hadir dalam ibu yang mengajar PAUD sambil menjahit. Dalam remaja desa yang mengajarkan coding  kepada anak-anak. Dalam gadis kecil yang berani mengatakan, “Aku ingin menjadi ilmuwan”.

 

Kartini tak pernah mengajak perempuan menjadi laki-laki. Ia tahu kodrat tak untuk dilawan. Tapi bukan berarti perempuan tidak bisa memilih.

Kodrat bukan alasan untuk memenjarakan. Menjadi ibu, istri, anak perempuan—itulah anugerah. Tapi menjadi pemimpin, pengubah, pemikir—juga bukan dosa.

Perempuan bisa menyusui anak sambil menulis puisi. Bisa mengurus rumah sambil menanam ide-ide. Bisa mencintai keluarganya tanpa meninggalkan dirinya sendiri.

 

Marie Curie membelah dunia ilmu dengan radium di tangan. Rosa Parks menolak bangkit dari bangku yang “bukan untuknya”. Ruth Bader Ginsburg menulis sejarah hukum dengan tinta kesetaraan. Malala ditembak karena ingin sekolah.

 

Kartini tak berdarah. Tapi dia juga menggetarkan. Dengan pena. Dengan airmata. Dengan keyakinan.

Krisis iklim bukan hanya soal teknologi. Ini juga tentang siapa yang menjaga bumi. Perempuan harus di garis depan pertanian. Perempuan menanam, memanen, memelihara alam.

Kartini akan bicara soal itu. Ia akan berdiri di tengah sawah, memegangi benih perubahan. Ia akan mengajak perempuan desa menghijaukan kembali ladang-ladang kering. Ia akan menyusun kurikulum cinta alam di sekolah-sekolah pinggiran.

Dalam suratnya, Kartini sering menangis. Ia merindukan kebebasan. Ia merekomendasikan atas peran yang dibatasi.

Ia menulis saat malam, ketika dunia tidur. Surat-suratnya adalah bentuk terapi batin.

Hari ini, banyak perempuan yang masih merasa seperti Kartini. Terjebak peran yang ditentukan orang lain. Terbungkam oleh kata “jangan” dan “harus” dan “nanti apa kata orang”.

 

Di media sosial, perempuan bicara soal kecemasan. Tentang tubuh yang diukur. Tentang kerja yang tak dihargai. Tentang cinta yang tak setara. Tentang luka-luka yang disimpan.

 

Menghadapi semua itu, Kartini mungkin akan membuat  podcast  tentang  kesehatan mental . Ia akan berkata: “Tak apa menangis. Tapi jangan pernah menyerah.”

Perempuan masa kini menghadapi dilema ganda. Antara meja kerja dan meja makan. Antara laptop dan popok bayi. Antara pembawa dan kodrat.

Kartini tak menyuruh memilih salah satu. Ia mendorong kebebasan menentukan. Ia ingin perempuan bisa berkata: “Aku memilih ini, dan aku bahagia.”

Tapi emansipasi bukan hanya urusan perempuan. Laki-laki pun harus banyak belajar. Belajar untuk mendengar. Belajar untuk berbagi beban rumah tangga. Belajar menerima bahwa perempuan tak selalu di belakang. Belajar berkata, “Aku bangga padamu” tanpa rasa terancam. Sebab, kesetaraan sejati hanya bisa lahir jika laki-laki juga bebas dari patriarki.

Kartini bukan hanya sejarah. Dia adalah cermin. Ia bertanya: Apakah kita sungguh-sungguh merdeka?

Ia adalah ajakan: Apa yang sudah kita lakukan untuk perempuan di sekitar kita?

 

Kartini adalah harapan bahwa pendidikan tak berhenti di kota. Bahwa kecantikan bukan syarat untuk dihargai. Bahwa suara perempuan layak didengar, bahkan dalam keheningan.

 

Jika Kartini hidup hari ini, ia tak akan tinggal diam. Ia akan merancang kurikulum baru untuk anak-anak perempuan. Ia akan melobi pemimpin daerah agar membangun sekolah di pedalaman. Ia akan mengajak kita berpikir ulang tentang makna sukses. Bukan sekedar jabatan atau angka gaji, tapi juga berdampak. Ia akan berkata bahwa tak ada laki-laki hebat tanpa perempuan hebat di belakangnya.

Kartini hari ini ada di mana-mana. Di pasar, di ruang teater sidang, di dapur, di panggung, di kantor  startup . Ia ada dalam diri siapa pun yang tak menyerah pada ketimpangan. Ia bukan lagi sekedar tanggal di kalender. Ia adalah semangat. Ia adalah gerak yang tak pernah berhenti.

Dan jika kita bertanya: “Apakah perjuangannya sudah selesai?” Maka penjelasannya: Belum. Tapi dipilih demi dipilih, terang itu semakin mendekat.

Karena gelap tak harus menunggu fajar. Kadang-kadang, cukup satu perempuan yang berani menyalakan lilin. Dunia pun bercahaya. []

Muhammad Subhan , penulis, pegiat literasi,  pendiri  Sekolah Menulis

 

Leave a Response