KOTA BANDUNG, bandungpos.id – Ketika kita membahas dimensi keamanan global, satu hal yang semakin jelas adalah dampak teknologi digital pada perubahan ini. Negara-negara, termasuk Indonesia, diharapkan merespons dengan bijak. Ancaman dan tantangan yang datang bersamaan dengan perkembangan teknologi digital adalah suatu keniscayaan, dan penting bagi lembaga-lembaga keamanan dan individu untuk memikirkan model strategi keamanan yang baru.
Profesor Raden Widya Setiabudi Sumadinata mengungkapkan pandangan-pandangan pentingnya dalam orasi pengukuhan guru besarnya yang berjudul “Perluasan Dimensi Keamanan Global: Keharusan Revisi Strategi Pertahanan Negara” pada FISIP Universitas Padjadjaran, di Grha Sanusi Hardjadinata, Unpad Bandung, Selasa ( 24/10).
Dalam orasinya, dia memaparkan bahwa pemahaman keamanan global telah bergeser dari pandangan tradisional yang menganggap ancaman berasal dari negara lain menjadi pandangan non-tradisional yang juga mempertimbangkan ancaman dari aktor non-negara.
Dalam konteks ini, Prof. Widya merujuk pada lima faktor yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan global, sebagaimana dinyatakan oleh ahli studi keamanan, Barry Buzan. Kelima faktor ini meliputi great power politics (politik kekuatan besar), teknologi, event (peristiwa), institusionalisasi, dan perdebatan akademik.
Teknologi, terutama teknologi siber, telah menjadi elemen kunci dalam diskusi keamanan global saat ini. Serangan siber dan aksi-aksi kelompok hacker telah memengaruhi konflik politik global. Prof. Widya Sumadinata menyoroti bagaimana kelompok hacker Rusia dikaitkan dengan konflik antara Israel dan Hamas, dengan membantu Hamas memantau warga sipil dan petinggi militer Israel.
Prof. Widya juga mengutip laporan Amnesty International yang melaporkan penggunaan teknologi oleh Israel yang dikenal sebagai “Red Wolf” untuk memindai dan melacak warga Palestina yang melintasi perbatasan. Ini adalah contoh konkret tentang bagaimana teknologi siber digunakan dalam konteks konflik.
Tidak hanya serangan siber, teknologi juga membuka pintu bagi apa yang dikenal sebagai deep fake, di mana suara dan gambar dapat direkayasa sehingga tampak seperti kenyataan. Ini menciptakan potensi untuk menyebarkan berita palsu, fitnah, dan pengaruh negatif lainnya. Dalam masyarakat yang terhubung secara digital, ketidakmampuan untuk membedakan antara informasi yang benar dan palsu dapat mengancam demokrasi.
Di tengah perkembangan ini, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Andi Widjajanto, telah mengusulkan pembentukan “angkatan siber” di dalam TNI. Usul ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya menghadapi tantangan teknologi siber yang semakin kompleks. Namun, ada pertanyaan tentang di bawah naungan mana lembaga ini akan beroperasi, apakah di bawah TNI atau institusi sipil. Juga, bagaimana hubungannya dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan lembaga serupa lainnya perlu dipertimbangkan dengan matang.
Perkembangan teknologi siber dan dampaknya pada keamanan global adalah isu yang memerlukan respons cepat dan bijak. Indonesia, sebagai salah satu negara yang terpengaruh oleh perkembangan ini, harus mempersiapkan diri dengan strategi keamanan yang sesuai. Teknologi siber tidak hanya menjadi alat yang berpotensi merusak, tetapi juga bisa digunakan sebagai alat yang mendukung keamanan. Kesadaran akan potensi ancaman, keterlibatan aktif masyarakat sipil, dan kerja sama lintas lembaga adalah kunci untuk menjaga keamanan nasional. (BSE/ask/bnn)