Kolom Sosial Politik

Bunuh Diri? Psikologi Menjawab, Masyarakat Mencegah

30views

 

Oleh: M. Ilmi Hatta   

COBA  bayangkan, setiap 40 detik dalam rentang waktu yang begitu singkat, satu nyawa di belahan dunia lain pupus oleh keputusasaan sendiri. Itulah data keras dari WHO yang membuat kita merenung. Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia setiap 10 September hadir bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengingatkan: di balik angka statistik, ada manusia dengan cerita yang patah.

Baru saja kita dikejutkan oleh kabar pilu dari Kabupaten Bandung. Seorang ibu, yang seharusnya menjadi pelindung, justru mengakhiri hidupnya sendiri setelah diduga mengakhiri hidup kedua anaknya. Surat wasiatnya berbicara tentang himpitan utang dan problem rumah tangga yang ia anggap sebagai jalan buntu. Peristiwa ini, seperti banyak kasus serupa, memantik pertanyaan yang sama: mengapa? Dan yang lebih penting, apa yang bisa kita lakukan? Apakah lingkungan di sekitarnya ada yang peduli dengan penderitaanya?

Lebih Dalam dari Sekadar “Sedang Sedih”: Mengurai Benang Kusut Penyebabnya

Bunuh diri bukanlah keputusan yang datang tiba-tiba. Ia adalah puncak gunung es dari akumulasi perasaan terperangkap yang tak tertahankan. Psikologi melihatnya sebagai badai sempurna dari faktor psikologis, biologis, dan sosial. Thomas Joiner, lewat teorinya (2005), mencoba menjabarkan kondisi yang membuat seseorang mempertimbangkan bunuh diri:

  1. Merasa menjadi beban: Percaya bahwa kehadirannya justru menyusahkan orang-orang yang dicintai.
  2. Rasa terputus dari dunia: Merasa sendiri, terisolasi, dan tak punya siapa-siapa, padahal secara fisik dikelilingi orang.
  3. Berani menyakiti diri sendiri: Ini yang berbahaya. Ketika rasa takut pada rasa sakit dan kematian telah hilang, dan seseorang justru merasa “mampu” melakukannya.

Rory O’Connor (2011) menambahkan bahwa titik awalnya seringkali adalah perasaan terjebak dan putus asa yang sangat mendalam. Pemicunya bisa apa saja; kehilangan pekerjaan, kematian orang tercinta, intimidasi, atau tekanan ekonomi yang tak kunjung reda.

Faktor medis seperti depresi berat atau gangguan kecemasan adalah bensin dalam api ini. Ditambah dengan lingkungan yang tidak mendukung seperti tekanan akademis tanpa henti, perundungan, atau stigmatisasi risikonya kian membesar.

Lalu, Bagaimana Kita Menjadi Bagian dari Solusi?

Ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada teori. Berbagai pendekatan telah terbukti efektif menjadi penahan jatuh:

  • Terapi Kognitif-Perilaku (CBT): Membantu seseorang mengidentifikasi dan merekonstruksi pola pikir negatif yang menguasainya. Ini seperti mengajarkan otak untuk mengambil jalur pemikiran yang lebih sehat.
  • Membangun Ketahanan Mental (Resiliensi): Ketahanan ini seperti otot. Bisa dilatih dengan dukungan sosial yang kuat, hubungan yang positif, dan terlibat dalam kegiatan yang memberi rasa berarti.
  • Ruang Aman yang Humanistik: Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah seseorang yang mendengarkan tanpa niat menghakimi. Ruang di mana seseorang bisa berkata, “Saya tidak baik-baik saja,” tanpa takut dicap lemah.
  • Peran Komunitas (Teori Bronfenbrenner): Kita semua adalah bagian dari sistem. Keluarga, sekolah, kampus, tempat kerja, hingga kebijakan pemerintah harus bersatu menciptakan jaring pengaman. Sekolah yang anti bullying atau kantor yang punya program wellness adalah contoh nyata.
  • Kita Bisa Menjaga”Penjaga Gerbang”: Siapa yang paling mungkin mendeteksi tanda-tanda bahaya? Bukan selalu psikolog. Tapi kita semua. Guru yang cermat melihat muridnya menyendiri, rekan kerja yang merasa ada yang “beda” dengan cara bicara kita, atau teman yang mendengar keluh kesah yang terasa putus asa. Tanda-tandanya bisa halus: ucapan seperti “lebih baik aku pergi,” penarikan diri dari pergaulan, atau perubahan ekstrem dalam pola tidur dan makan. Pelatihan gatekeeper mengajarkan kita untuk tidak panik, tetapi berani bertanya langsung, “Apakah kamu sedang berpikir untuk menyakiti dirimu sendiri?” dan mendengarkan jawabannya dengan empati.
  • Menghancurkan Tembok Stigma: Agar Jeritan Itu Terdengar. Sayangnya, segalanya jadi sia-sia jika stigma masih membungkam kita. Berbicara soal kesehatan mental masih dianggap tabu. Orang lebih memilih diam karena takut dikatakan “cari perhatian” atau “tidak kuat mentally”. Ini harus diubah. Membicarakan perasaan sedih, cemas, atau hampa harusnya sama normalnya dengan membicarakan sakit flu atau demam. Normalisasi ini yang akan memberi orang-orang keberanian untuk mengangkat tangan dan berkata, “Saya butuh pertolongan.”

Penutup: Menjadi Pelita dalam Kegelapan Orang Lain

Hari Pencegahan Bunuh Diri mengajak kita untuk berhenti sejenak. Melihat sekitar. dan bertanya, “Apakah orang-orang yang saya cintai benar-benar baik-baik saja?” Kita tidak perlu memiliki semua jawaban. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah kehadiran. Bukan nasihat panjang lebar, tapi kesediaan untuk mendengarkan. Bukan penghakiman, tapi pelukan literal atau figuratif. Bukan kata-kata “semangat dong,” tapi “Aku di sini untukmu.”

Menyelamatkan satu nyawa berarti menyelamatkan seluruh dunianya. Dalam dunia yang semakin kompleks dan impersonal, jadilah manusia yang memanusiakan manusia. Kadang, secercah cahaya dari satu percakapan tulus saja sudah cukup untuk mengusir kegelapan, meski hanya untuk satu malam, dan memberi seseorang kekuatan untuk bertahan hingga esok hari. *

* M. Ilmi Hatta, jurnalis senior surat kabar dan televisi swasta, dosen Fakultas Psikologi Unisba, bermukim di Bandung, Jawa Barat.

 

Leave a Response