Wartawan, Sekarang Preman Mikrofon? Perangkat Desa di Ciamis Tantang Jurnalis Seperti Jagoan Terminal

CIAMIS, BANDUNGPOS.ID – Insiden yang terjadi pada Jumat malam, 21 November 2025, di salah satu aula kantor desa di wilayah Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kembali memperlihatkan wajah gelap arogansi kekuasaan lokal. Seorang Perangkat Desa terekam secara terbuka menantang dan mengintimidasi wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik. Rekaman video yang kini beredar luas di kalangan media menampilkan dengan jelas bagaimana seorang pejabat desa mengeluarkan ancaman verbal dengan nada keras, seolah berada di arena adu otot, bukan ruang pemerintahan.
Peristiwa memalukan tersebut menjadi ironi besar, sebab sang perangkat desa diketahui merupakan mantan wartawan—orang yang seharusnya memahami arti kebebasan pers dan pentingnya transparansi. Namun, ketika jabatan telah melekat di dada, idealisme yang dulu ia teriakkan tampaknya berubah menjadi alergi terhadap kritik. Suara kebenaran yang dulu ia bela, kini dianggap sebagai musuh yang perlu dibungkam.
Insiden ini menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman sebagian pejabat publik terhadap fungsi kontrol sosial media. Ketika wartawan menjalankan tugas dan menanyakan informasi publik, yang muncul bukan jawaban substansial, melainkan tantangan bak preman terminal. Bukan hanya memalukan, tetapi juga membahayakan masa depan kebebasan pers—terutama di daerah yang rentan intervensi kekuasaan dan intimidasi mental.
Jika seorang perangkat desa berani mengeluarkan ancaman secara terang-terangan di tempat umum yang disaksikan banyak orang, publik wajar bertanya: bagaimana sikapnya ketika tidak ada kamera? Bagaimana nasib warga yang berani bersuara kritis? Bagaimana mungkin transparansi terwujud jika kritik dianggap ancaman dan data publik seolah barang haram untuk diungkap?
Kasus intimidasi ini harus menjadi tamparan keras bagi aparat penegak hukum. Pasal 18 ayat (1) UU Pers sudah jelas menyebutkan ancaman pidana bagi siapa pun yang menghalangi kerja jurnalistik. Jika peristiwa ini dibiarkan tanpa tindakan tegas, maka pesan yang tersampaikan kepada publik sangat berbahaya: bahwa kekuasaan boleh bertindak semena-mena dan wartawan harus tutup mulut.
Para jurnalis tidak menuntut perlakuan istimewa. Mereka hanya meminta menjalankan tugas profesional tanpa ancaman dan teror. Sebab, ketika wartawan dibungkam, itu bukan sekadar serangan terhadap individu, tetapi serangan langsung terhadap hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran.
Dan kepada sang perangkat desa, mungkin sudah waktunya bercermin: jabatan bukan alasan untuk bersikap pongah dan berteriak seperti jagoan pasar malam. Pers tidak pernah takut pada gertakan; yang takut adalah mereka yang menyimpan banyak hal untuk disembunyikan. (Iding/bnn)





