Opini

Pertambangan di Indonesia Mengarah pada Keterpurukan

Bambang Prakoso Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS dan Pengurus ICMI Jawa Timur.

131views

Bambang Prakoso

(Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS dan Pengurus ICMI Jawa Timur)

Konflik berkepanjangan juga terjadi di Anggola, kaya minyak dan berlian memicu penambangan ilegal yang merusak ekosistem lingkungan, menggerogoti pendapatan negara, dan minumbulkan kekacauan. Warga lokal kehilangan tanah, pekerjaan, dan kesejahteraan yang sebenarnya kaya akibat 1.3 juta penambang liar, lemahnya pengawasan dan korupsi semakin membuat negara ini terpuruk.

AKTIVTAS — pertambangan seringkali menimbulkan kerugian serius, dampak negatif seperti rusaknya ekologi, polusi udara, pencemaran air, punahnya habitat satwa liar, rusaknya desa adat, konflik sosial.

Aktivitas pertambangan yang dikenal dengan tambang untuk memproduksi mineral dan logam, seperti bauksik, tembaga, batu bara, emas, dan nikel. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengurus potensi daerah termasuk potensi pertambangan atau bahan galian.

UU No.4 Tahun 2009, dalam memberikan IUP (Izin Usaha Pertambangan) di wialayah kabupaten atau kota diberikan diberikan kepada Bupati atau walikota dan untuk lintas Kabupaten atau Kota diberikan oleh Gubernur dan di Provinsi diberikan oleh Kementrian ESDM. Namun, ada perubahan lagi terkait IUP berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 yaitu Walikota atau Bupati tidak memiliki wewenang lagi dalam memberikan IUP yang memiliki wewenang Gubernur dan pemerintah pusat, IUP lintas provinsi masih tetap diberikan oleh kementrian ESDM.

Regulasi dan wewenang sering berubah menyesuaikan kepentingan pemerintah yang berkuasa, jika spiritnya untuk kebermanfaatan kesejahteraan Masyarakat, dikelola, diawasi, dengan baik tidak menjadi persoalan, yang menjadi persoalan adalah hanya menguntungkan kelompok atau golongan tertentu, bahkan pihak asing, siapa yang berkuasa dia yang memonopoli, ini selera politik yang redah muara dari SDM penyelenggara negara yang literasinya rendah, berdampak kesengsaraan rakyat.

Negara-negara kaya tambang yang bangkrut

Kita sebagai negara sebenarnya bisa mengambil pelajaran dari beberapa negara yang memiliki kekayaan tambang karena salah kelola berakhir memprihatinkan. Republik Demokratik Kongo memiliki kekayaan tembaga, kobalt, dan berlian penambangan besar-besaran dilakukan, eksploitasi yang tidak mempertimbangkan kerusakan lingkungan, terjadi penggusuran, juga pelanggaran HAM. Hasil pertambangan hanya dinikmati segelintir keluarga kaya. Sementara jutaan rakyat hidup dalam kemiskinan.

Veneszuela pernah jadi negara terkaya di Amerika Latin karena mempunyai cadangan minyak terbesar di dunia, tapi ketergantungan ekstrim pada minyak, ditambah para penyelenggara negara yang korupsi gila-gilaan, dan anjloknya harga global membuat ekonominya runtuh, inflasi melemah dan kemiskinan meluas.

Pada tahun 1970-an Nauru pernah jadi negara dengan pendapatan perkapita tertinggi di dunia, ekspor fosfat besar-besaran berakibat kerusakan daratan 90 persen dan sekarang menjadi gurun tandus, ditambah SDM pengelola pemerintah yang tidak kompeten dan korup semakin memperparah keadaan. Fosfatnya memperkaya Australia, sementara warganya hidup dari bantuan asing, warganya kini bergantung pada makanan instan yang menyebabkan epidemi obesitas ekstrem.

Konflik berkepanjangan juga terjadi di Anggola, kaya minyak dan berlian memicu penambangan ilegal yang merusak ekosistem lingkungan, menggerogoti pendapatan negara, dan minumbulkan kekacauan. Warga lokal kehilangan tanah, pekerjaan, dan kesejahteraan yang sebenarnya kaya akibat 1.3 juta penambang liar, lemahnya pengawasan dan korupsi semakin membuat negara ini terpuruk.

Kondisi pertambangan Indonesia:

Kondisi industri pertambangan Indonesia menunjukan pertumbuhan yang signifikan, cadangan minerial dan energi yang melimpah dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote terbentang luas hamparan yang kaya sumber daya alam.

Indonesia menjadi lahan subur bagi pertambangan salah satunya tambang nikel di Raja Ampat yang menjadi isu nasional karena merusak ekowisata, dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dari sektor ekowisata berbasis alam. Kurang lebih 70 persen wisatawan dari macanegara yang datang ke Raja Ampat, 30.000 pengunjung wisatawan yang berkunjung ke Raja Ampat pada 2024, dan menyumbang PAD sekitar 150 milyar pertahun.

Kawasan penambangan yang dikelola PT Gag Nikel masuk zona penyangga Wisata Raja Ampat, yang membentang dari pulau Kawe sampai Wayang hingga jalur migrasi satwa laut. Lumpur tambang yang terbawa arus dapat merusak terumbu karang, satwa laut, juga penetrasi sinar mahari dibawah permukaan laut.

Di Kepulauan Raja Ampat ada Lima pengelolaan cadangan nikel, diantanya PT Gag Nikel. Penambangan dilakukan dengan skala besar, mencakup wilayah luas, konsesi lahan 13.136 hektar, serta memiliki izin usaha yang berlaku panjang dari 2017 hingga 2047.

Presiden Prabowo memutuskan pencabutan izin IUP yang beroprasi dikawasan papua Barat Raja Ampat, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham. Sedangkan, IUP PT. Gag Nikel masih dipertahankan, Menurut Bahlil sudah berizin, mengantongi kajian AMDAL dan tidak merusak Ekowisata.

Jumlah pertambangan di Indonesia sangat besar, dan bervariasi, termasuk tambang batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sebanyak 4.634. Dari jumlah tersebut, 16 izin masih dalam tahap eksplorasi, dan sisanya (870 izin) sudah memasuki tahap produksi. Kementerian ESDM juga telah menetapkan 1.215 wilayah pertambangan rakyat.

Pernahkah para penyelenggara negara berfikir berapa triliun rupiah membuat eksotisme alam seperti Raja Ampat, pendapatan dari tambang nikel tak sebanding dengan kerusakan alam. Keseriusan dan kehati-hatian pemerintah dalam pengelolaan tambang akan menentukan nasib bangsa kedepan, mejadi negara sejahtera atau bangkrut.

Indonesia mempunyai jenis kekayaan sumber daya alam yang melimpah melebihi Empat Negara diatas, tapi sekaligus Indonesia punya potensi konflik yang lebih besar jika melihat peristiwa-peristiwa pengelolaan tambang yang salah kelola, korup, manipulatif, hanya menguntungkan segelintir orang, dan kelompok tertentu.

Seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, ada 400 Perusahaan Perkebunan, ada 600 Perusahaan Tambang tapi tidak memberikan kontribusi atau kesejahteraan pada Provinsi Kalimantan Barat, justru menimbulkan konflik ditengah masyarakat, konflik agraria, merusak kawasan adat. Menurut Gubernur Kalimantan Barat, Kalbar hanya dijadikan objek bukan subjek pembangunan.

Keadilan sosial sejauh ini hanya isapan jempol belaka, Indonesia hanya akan tinggal cerita jika penyelenggara negara masih saja tamak, tidak mempunyai kesadaran kolektif berbangsa. ***Bambang Prakoso Dosen Ilmu Perpustakaan FISIP UWKS dan Pengurus ICMI Jawa Timur.

Leave a Response