
Oleh : M. Ilmi Hatta
SundaNews (24/8/2025). Akhir-akhir ini mulai tren pernikahan tanpa mengundang orang banyak, ada yang menikah sederhana di KUA saja, sampai melangsungkan pernikahan dengan sebutan intimate wedding. Pada tulisan hanya akan menyoroti intimate wedding. Saat ini pernikahan di kalangan ekonomi menengah ke atas, pernikahan tidak lagi dengan pesta megah dengan menggundang ribuan orang, akan tetapu bergeser ke pernikahan yang ekslusif, yang hadir keluarga inti dan orang tertentu dan dilaksanakan di tempat-tempat Eksotis. Di Indonesia, Bali biasanya menjadi pilihan, karena di Bali banya resor mewah yang menawarkan paket pernikahan privat.
Di Indonesia, sependek pengetahuan penulis, peristiwa sakral penikahan, umumnya dilakukan dengan “hajatan besar”, yang diundang semua keluarga besar, teman sekolah hingga kerja, tetangga. Pada tradisi tersebut, pernikahan bukan hanya tentang pasangan, tetapi ada upaya untuk memperkuat ikatan. Menjadi pertanyaan, mengapa anak muda, yang umumnya juga eksekutif yda dari kalangan mapan, lebih suka pesta kecil tapi mahal, dari pada resepsi besar dan terbuka.
Dalam sejarahnya, pernikahan di Indonesia mengandung fungsi sosial yang luas. Fenomena yang berlangsung, keluarga yang memiliki hajatan menyediakan aneka hidangan, dan biasanya tamu undangan membawa kado atau amplop da semua orang saling mendukung. Sehingga pernikahan memanjangkan silahturrahim, bahkan terkadang jadi reuni keluarga besar yang sudah lama tidak berkumpul, selain itu juga bisa memperkuat jejaring
Zaman tampaknya berubah generasi millennial dan gen z, terutama dari kalangan mapan, sepertinya ogah dengan pesta besar. Hanya orang-orang terdekat yang terlibat, dan tidak harus memenuhi keinginan keluarga besar atau orang tuanta. Maka terjadilah pergesaran budaya; dari pernikahan komunal menjadi penikahan privat terkurasi.
Pernikahan jauh dari hingar binger ini, pernah dilakukan aktor Inonesia, Rio Dewanti dan Atiqah Hasiholan, pada tahun 2013 berlangsung di pulau kelor, Kepulauan seribu. Jauh dari pesta besar yang biasanya dilakukan selebritis. Di belahan bumi lain, Priyanka Chopra dan Nick Jonas melansungkan pernikhan megah di India, tapi di California digelar upacara kecil, hanya untuk keluarga inti. Masih ingat Justin Bieber menikah dengan Hailey Baldwin, menikah privat di catatan sipil, kemudian menggelar respsi intim di resor mewah.
Dari Pandangan teori sosiologi, menurut Pierre Bourdie, ada yang dikatakan konsep distinction, yaitu cara kelas sosial tertentu membedakan diri melalui gaya gidup. Waktu dulu pesta besar dengan ribuan tamu menjadi cara menunjukkan gengsi, semuanya berganti, gengsi hadir dengan bentuk pengalaman eksklusif, melalui pernikahan di resor pribadi, dekorasi artistic, disertai foto sinematik.
Fenomena tersebut bisa dipandang sebagai bentuk konsumerisme pengalaman. Eksekutif muda mapan merasa tidak harus mengkoleksi barang mewah, namun mereka ingin memiliki dan menjelajahi berbagai pengalaman unik. Satu diantaranya adalah pernikahan, suatu momen yang essensial untuk menunjukkan selera tersebut.
Dalam pandangan sosiolog Anthony Giddens, pernikahan merupakan reflexive project of the self- proyek reflektif dari diri. Artinya pasangan merancang pernikhan bukan hanya sebagai ritus keluarga, melainkan sebagai ekspresi identitas personal.
Sudut pandang psikologi, Generasi muda mapan menilai, suatu pesta pernikahan besar, terkadang memunculkan drama, siapa yang diundang, siapa yang tersinggung bila tidak hadir, bahkan masalah adat bisa jadi konflik dengan biaya. Sehinga ada perasaan tertekan dari generasi muda mapan karena epkseptasi keluarga besar.
Boundary setting-menjaga batas privasi dan mengurangi potensi stress, bila undangan dibatasi. Mereka berpendapat, lebih baik menikah dengan keluarga inti saja dan tamu sangat terbatas, bisa penuh makna, dari pada menikah dengan ribuan undangan, yang bisa melelahkan secara emosional.
Pernikahan intim memberi kesan “true to us”, benar-benar mencerminkan jati diri pasangan. Mereka tidak ingin sekadar mengikuti pola tradisional, melainkan menciptakan momen yang dianggap lebih pribadi, sederhana, dan berkesan.
Hal yang diperhatikan oleh mereka yang melakukan pernikahan intim, terutama di era media sosial ini, harus ada impression management. Tamu boleh tidak ada, namun dokumentasi visual menjadi hal utama, foto dan video tetap harus dibagikan di medsos mereka. Maka fungsi sosial pesta pernikahan tradisional beralih ke dunia maya. Ribuan mata bisa menyaksikan pernikahan mereka, melalui unggahan Instagram atau tiktok, bahkan bisa menyaksikan prosesi pernikahan secara langsung.
Perubahan pola pernikahan ini, tentu akan membawa dampak bagi struktrur sosial. Ikatan keluarga inti bisa menjadi lebih kuat karena mereka yang satu-satunya hadir. Mempelai lebih fokus menikmati momen pernikahan tanpa gangguan.
Namun, di pihak lain fungsi pernikahan sebagai sarana memperluas jejaring sosial melemah. Tetangga atau kerabat jauh tidak lagi dilibatkan. Hubungan sosial yang dahulu dirajut melalui hajatan komunal perlahan tergerus. Bagi industri lokal, penyedia katering kampung, jasa dekor sederhana, atau gedung pertemuan, fenomena ini juga bisa mengurangi peluang. Tetapi di sisi lain, tumbuh usaha baru; wedding planner boutique, fotografer sinematik, resor-resor yang menawarkan paket pernikahan privat.
Fenomena pernikahan intim dan eksklusif, dengan memilih tempat eskotis, merupakan pencerminan dari generasi muda mapan yang menuntut privasi, otensitas dan control penuh atas pengalaman hidupnya. Pernikahan kecil namun megah dari sudut estetika dan simbolik.
Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi tradisi baru yang lebih personal, atau justru menciptakan polarisasi baru, di mana hanya kalangan tertentu yang bisa merayakan cinta dengan cara “indah dan eksklusif”?
Yang jelas, pernikahan kini tidak lagi semata-mata peristiwa keluarga besar. Ia telah menjadi panggung simbolik, pernyataan gaya hidup, sekaligus cermin pergeseran budaya kita: dari komunal menuju personal, dari hajatan menuju pengalaman, dari panggung publik menuju narasi privat yang akhirnya tetap dipamerkan ke dunia maya.
Walimah dalam Syariat Islam
Pada Islam, inti dari sahnya pernikahan adalah akad nikah. Selanjutnya ada walimah atau resepsi yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda; “Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (HR. Bukhari-Muslim)
Walimah bukan sekadar pesta, tetapi syiar. Ia berfungsi sebagai pengumuman agar masyarakat tahu pasangan ini sudah halal, serta menjadi wujud syukur dan momen mempererat silaturahmi.
Perihal respesi dalam pernikahan, ulama-ulama di Indonesia memberi penekanan berbeda;
- Buya Hamka; menegaskan bahwa walimah sebaiknya jangan kehilangan fungsi ukhuwah. Beliau mengingatkan umat agar tidak terjebak riya’ (pamer) dan tabdzir (pemborosan).
- Ulama NU menekankan pentingnya fungsi sosial walimah. Pernikahan yang terlalu tertutup bisa mengurangi nilai ta’aruf dalam masyarakat.
- Ulama Muhammadiyah menekankan esensi: asal akad sah dan walimah ada, maka sah. Mereka mengingatkan agar jangan berlebihan dan fokus pada keberkahan.
- Yusuf al-Qaradawi menolak segala bentuk pernikahan yang mempersulit atau membebani. Baginya, kemewahan yang berlebihan bisa merusak semangat kemudahan dalam Islam.
Dari sini terlihat benang merah: Islam tidak melarang pernikahan eksklusif, tetapi memperingatkan bahaya kemewahan, pamer, dan hilangnya fungsi sosial walimah.
Antara Privasi, Gengsi, dan Keberkahan
Bagi sebagian pasangan muda mapan, pernikahan privat di Bali atau luar negeri dianggap lebih “berkelas” dan personal. Namun di sinilah letak ujian niat. Apakah privasi itu didasari kebutuhan menjaga ketenangan, atau sekadar gengsi dan pencitraan di media sosial?
Islam tidak menolak keindahan. Bahkan, pernikahan adalah salah satu momen paling indah. Tetapi, keindahan tidak boleh mengalahkan nilai keberkahan. Pernikahan sejatinya bukan tentang “siapa yang hadir” atau “seberapa mewah tempatnya”, melainkan tentang doa, restu, dan keberlanjutan rumah tangga dalam ridha Allah.
Menemukan Jalan Tengah
Generasi muda muslim dapat mengambil jalan tengah. Pernikahan boleh dilakukan secara intim dan sederhana, asal tetap memenuhi syiar minimal: ada walimah, ada pengumuman yang jelas, dan ada doa dari orang-orang terdekat.
Bahkan, di era digital ini, sebagian orang menggabungkan privasi dengan syiar: walimah kecil dihadiri keluarga inti, tetapi disiarkan secara daring agar doa bisa tetap mengalir dari sahabat dan kerabat jauh.
Penutup
Pada akhirnya, pernikahan eksklusif bukanlah masalah jika diniatkan untuk kesederhanaan, efisiensi, dan menjaga kekhusyukan. Namun ia bisa berubah menjadi masalah jika jatuh ke dalam perangkap riya’, gengsi, dan hedonisme.
Sebagaimana pesan Nabi SAW:
“Sesungguhnya pernikahan yang paling besar keberkahannya adalah yang paling mudah biayanya.” (HR. Ahmad)
Maka, apakah itu hajatan besar atau walimah eksklusif, ukuran keberkahan tetap sama: sejauh mana niatnya lurus, kesederhanaannya terjaga, dan kebermanfaatannya terasa.*
* M. Ilmi Hatta, jurnalis senior media massa cetak dan televisi swasra, dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung (Unisba), bermukim di Bandung, Jawa Barat.