Kolaborasi Literasi – Dari Ego Kelembagaan Menuju Gerakan Peradaban Sebuah Renungan dan Harapan
Kolaborasi Literasi - Dari Ego Kelembagaan Menuju Gerakan Peradaban Sebuah Renungan dan Harapan

Oleh M Kh Rachman Ridhatullah ( Ketua 1 PP GPMB 2023-2027 Founder & CEO Padepokan Dakwah Kreatif)
Mengapa gerakan literasi kita cenderung masih tersendat, meski di hampir setiap kota ada taman bacaan, komunitas buku, festival literasi, hingga organisasi litrasi nasional seperti GPMB (Gerakan Pembudayaan Minat Baca) dan FTBM (Forum Taman Bacaan Masyarakat)? Mengapa setiap tahun data minat membaca bangsa masih menimbulkan pertanyaan kolektif di dalam pikiran kita, padahal aktivitas literasi terlihat begitu ramai di media sosial? Jawaban pahit hipotesisnya sederhana : karena kita masih lebih sibuk mengurus bendera organisasi masing-masing daripada mengibarkan panji besar bernama kolaborasi literasi bangsa.
Ego Organisasi : Musuh Nyata yang Tak Pernah Disadari
KITA– tak bisa memungkiri, baik GPMB maupun FTBM hadir dengan semangat luhur. Keduanya memiliki visi yang sama: membangun budaya baca dan menyadarkan literasi di masyarakat. Struktur keduanya pun relatif sudah rapi, dari pusat hingga daerah. Namun, apa yang terjadi di lapangan sering kali jauh dari cita-cita itu. Alih-alih berjalan beriringan, tidak sedikit pengurus maupun pengurus daerah yang berjalan masing-masing, sibuk dengan program sendiri, bahkan seolah-olah berlomba siapa pusat yang lebih “terlihat” di mata publik dan pemerintah.
Fenomena ini menampilkan satu penyakit lama : ego kelembagaan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kondisi tujuan di lapangan. Pertama, di tingkat pusat, GPMB dan FTBM kerap jalan dengan agenda paralel, padahal visi dan audiens mereka sama. Kedua, di daerah, pengurus GPMB dan FTBM sering tak saling berkomunikasi, apalagi berkolaborasi. Ada yang kompak, tetapi tidak jarang pula hubungan mereka renggang hanya karena perbedaan gaya kepemimpinan. Ketiga, lebih buruk lagi, banyak komunitas literasi non-formal merasa “dipinggirkan” karena dianggap bukan bagian dari forum resmi. Jika kondisi ini dibiarkan, maka gerakan literasi kita akan terus terjebak dalam lingkaran kecil : sibuk dengan kegiatan seremonial, tetapi gagal menyentuh perubahan struktural.
Gambaran Data Lapangan : Renungan Kritis Kondisi Literasi di Indonesia
Kita butuh jujur membaca data, bukan sekadar jargon. Pertama, Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) menunjukkan sebagian besar provinsi berada di kategori rendah (20,01–40,00). Tidak ada satu pun provinsi yang masuk kategori tinggi. Dimensi akses (ketersediaan buku, perpustakaan, TBM) dan budaya membaca menjadi titik terlemah. Kedua, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia, banyak yang berfungsi hanya sebatas sebagai ruang baca; belum banyak dilakukan aktivasi atas hasil baca yang telah dilakukan untuk dapat lebih memperkuat manfaat membaca secara konkret di dalam kehidupan. Ketiga, organisasi seperti Gerakan Pembudayaan Minat Baca yang sejatinya telah berusia lebih dari 20 tahun pun hingga saat ini belum memiliki kemandirian dalam mengelola kegiatan literasi; terutama dalam hal kemandirian secara finansial untuk membiayai berbagai kegiatan literasi. Keempat, Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) 2024 memang mencatat skor 73,52 (rekor tertinggi nasional). Namun skor ini jangan membuat terlena, sebab indikator administratif sering menutupi fakta di lapangan bahwa literasi budaya masyarakat masih lemah. Kelima, dalam sebuah survei internasional, skor PIRLS Indonesia turun dari 548 (2016) menjadi 544 (2021). Sementara di PISA 2018, kami menduduki peringkat 72 dari 78 negara untuk literasi membaca siswa. UNESCO bahkan menempatkan Indonesia pada peringkat 100 dari 208 negara dalam indeks literasi global. Angka-angka ini menjadi alarm: literasi kita belum menjadi gerakan nasional yang terstruktur, masif, dan berkelanjutan.
Mengapa Kolaborasi Jadi Kunci ?
Kolaborasi seharusnya bukan sekedar jargon, melainkan kebutuhan hidup gerakan literasi. Ada beberapa alasan mengapa sinergi antarorganisasi literasi harus segera diwujudkan :
Sumber Daya Terbatas, Masalah Tak Terbatas
Baik GPMB, FTBM, maupun komunitas literasi lainnya menghadapi keterbatasan: minim anggaran, kurang relevan, dan akses bacaan yang timpang. Jika sumber daya yang sedikit ini tidak digabungkan, bagaimana mungkin bisa mengatasi masalah sebesar rendahnya budaya baca bangsa?
Dasar Gerakan yang Terfragmentasi
Saat ini, taman bacaan, perpustakaan komunitas, hingga ruang baca kreatif tumbuh di berbagai daerah. Sayangnya, mereka berjalan seperti pulau-pulau kecil yang terlindungi. Kolaborasi bisa menjadi jembatan yang menghubungkan potensi-potensi terpendam agar menjadi kekuatan besar.
Peran Pemerintah Daerah yang Belum Optimal
Dispusipda atau Disarpus di tiap daerah sejatinya memiliki mandat yang kuat untuk mengembangkan literasi. Namun, tanpa sinergi dengan komunitas, program pemerintah hanya berhenti pada rutinitas. Kolaborasi dengan GPMB, FTBM, dan komunitas literasi lainnya akan menciptakan ekosistem literasi yang lebih hidup, bukan sekadar formalitas laporan tahunan.
Meningkatkan Daya Tawar dan Advokasi
Gerakan literasi sering dianggap sebagai kelas dua dibandingkan isu infrastruktur atau ekonomi. Jika GPMB, FTBM, dan komunitas literasi bersatu, mereka dapat memiliki daya tawar lebih besar untuk mendesak kebijakan pro-literasi: mulai dari anggaran buku, distribusi bacaan ke pelosok, hingga dukungan regulasi yang lebih progresif.
Dimensi Kolaborasi yang Mendesak Dijalankan
Kolaborasi literasi dapat diwujudkan dalam berbagai level : Antara Pengurus Pusat GPMB dan Pengurus Pusat FTBM. Mengapa tidak membuat peta jalan literasi nasional bersama? Satu peta jalan yang bisa menjadi acuan seluruh pengurus daerah, dengan pembagian peran yang jelas.
Antara Pengurus Daerah GPMB dan Pengurus Daerah FTBM
Di lapangan, mereka paling tahu kebutuhan masyarakat. Kolaborasi bisa berupa program bersama seperti “Gerakan 1 Desa 1 Taman Bacaan,” atau festival literasi daerah yang digarap bersama, bukan secara terpisah.
Kolaborasi Horisontal Antar Pengurus Daerah
Pengurus daerah GPMB dan FTBM di Jawa bisa belajar dari pengurus inovasi di Sumatera atau Nusa Tenggara. Pertukaran pengalaman ini lebih relevan daripada seminar nasional yang terlalu abstrak.
Kolaborasi dengan Komunitas Literasi Lain
Jangan sampai GPMB dan FTBM terjebak pada eksklusivitas. Ada banyak komunitas literasi kreatif, pegiat baca digital, hingga gerakan literasi kampus yang siap digandeng.
Sinergi dengan Dispusipda/Disarpus
Literasi tak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan pemerintah daerah. Namun sebaliknya, Dispusipda pun tidak akan efektif tanpa dukungan komunitas.
Epilog Provokatif :
Mau Jadi Pahlawan Lokal atau Arsitek Peradaban ?
Pertanyaannya sekarang : apakah para pegiat literasi cukup puas menjadi “pahlawan lokal”—dikenal di daerahnya masing-masing, sibuk dengan programnya sendiri, namun tidak memberi dampak signifikan secara nasional? Atau kita berani menjadi arsitek peradaban literasi yang bersatu, bekerja lintas batas, dan benar-benar mengubah wajah literasi bangsa?
Sejarah bangsa ini selalu digerakkan oleh kolaborasi. Pergerakan nasional bukan lahir dari satu organisasi tunggal, melainkan dari sinergi berbagai perkumpulan. Begitu pula literasi. Jika terus terkotak-kotak, kita hanya akan mencatatkan diri sebagai generasi yang gagal memanfaatkan momentum.
Literasi sejatinya adalah upaya membebaskan manusia dari perbudakan dan ketidakadilan. Ironisnya sekali jika para pegiat literasi sendiri masih terpenjara oleh ego organisasi.
Kini saatnya: Pusat dan daerah saling berpelukan, bukan saling menjauh. GPMB dan FTBM duduk satu meja, bukan saling diamkan. Komunitas literasi lain dilibatkan, bukan dipinggirkan. Pemerintah daerah dirangkul, bukan sekadar menjadi sponsor acara.
Jika kita gagal membangun kolaborasi, maka gerakan literasi hanya akan menjadi riuh rendah seremonial tanpa gema. Tapi jika kita berani membuka diri, menutup ego, dan bekerja bersama, maka literasi akan menjelma menjadi gerakan peradaban—warisan sejati untuk generasi mendatang.**( Penulis dosen, penggerak Literasi Nasional, Praktisi Penerbitan, Ketua I PP GPMB Pusat)