Opini

Buku-Buku yang Mengubah Dunia

Buku-Buku yang Mengubah Dunia

145views

Oleh  Bachtiar Adnan Kusuma

Terima kasih kepada tokoh-tokoh yang ikut serta mendukung upaya memperluas akses terhadap buku-buku bermutu di Indonesia. Mereka menulis dan menerbitkan buku, lalu mewakafkannya ke berbagai perpustakaan kabupaten/kota, baik di Sulawesi Selatan maupun Indonesia Timur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: Dr. H. A. S. Chaidir Syam, S.IP., M.H. Dr. Adin Bondar, M.Si. Dr. K.H. Masrur Makmur Latanro, M.Pd.I. Dr. K.H. Amirullah Amri, M.A. Dr. H. M. Amir Uskara, M.Kes. Drs. H. Iksan Iskandar, M.Si. Dr. H. Alimuddin, S.H., M.H., M.Kn. Dr. H. Basmin Mattayang, M.Pd. Dr.H.Amran, M.Si. Prof Dr Jasruddin Daud Malago  dan Dr Hartina Fattah, SS, MM

 

KALAU– ditanya siapa yang paling berbahagia menjelang tanggal 17 Mei setiap tahun, maka jawabannya adalah penulis. Mengapa? Selain karena tanggal 17 Mei 2025 diperingati sebagai Hari Buku Nasional (HBN)—yang pertama kali dirayakan pada 17 Mei 2002 oleh Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang menetapkannya sebagai Hari Buku Nasional—pada sisi lain, tanggal 17 Mei juga menjadi momen spesial bagi penulis. Bukan hanya karena pada tanggal tersebut penulis memutuskan untuk bergelut di dunia perbukuan—tepatnya tahun 1995 dari Makassar sebelum migrasi ke Ibu Kota Jakarta—tetapi juga karena tanggal itu merupakan hari pernikahan penulis dengan istri tercinta, Ani Kaimuddin Mahmud, pada tahun 1996.

Suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi penulis karena pada Mei 2025 genap 29 tahun aktif terlibat dalam panggung pengabdian gerakan literasi dan perbukuan nasional. Pada suatu pertemuan medio 2023, Kepala Perpustakaan Nasional RI saat itu, Muhammad Syarif Bando, memperkenalkan penulis dengan bentangan jalan panjang gerakan membaca dan menulis di Indonesia. Dalam kesempatan itu, beliau menyerahkan Piala Penghargaan Tertinggi Perpustakaan Nasional, Nugra Jasa Dharma Pustaloka, yang disaksikan oleh seluruh pejabat eselon satu, dua, dan tiga Perpustakaan Nasional di Auditorium Mini Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta.

Dari cerita di atas, penulis menarik pelatuk kesimpulan dan sebuah pertanyaan: mengapa penulis konsisten memilih literasi dan bukuan sebagai jalan pengabdian hidup? Jawabannya sederhana saja: budaya membaca dan menulis di Indonesia belum menjadi budaya massal, masif, dan berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan gerakan sosial yang terus-menerus mengajak masyarakat untuk membaca dan menulis. Selain karena membaca belum menjadi kebutuhan primer masyarakat, membaca juga belum menjadi industri—apalagi gaya hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak sangat dibutuhkan, terutama dari ekosistem keluarga, masyarakat, dan dunia pendidikan yang wajib menjadi pilar utama tumbuhnya budaya membaca dan menulis di negeri ini.

Buku dan Agen Perubahan

Penulis mengutip sebuah buku berjudul Buku-Buku yang Mengubah Dunia karya Andrew Taylor, seorang jurnalis televisi, surat kabar, dan majalah Sunday Times. Dalam bukunya, Taylor menempatkan dirinya sebagai petugas yang menantang untuk memilih dan mengikhtisarkan 50 buku paling berpengaruh dalam sejarah dunia.

Apakah buku benar-benar dapat mengubah dunia? Pena, tanpa sengaja sombong, memang lebih tajam dari pedang, meski dampaknya mencapai jangka pendek dan umumnya pedanglah yang memenangkan pertarungan. Seperti kata pepatah, “dalam jangka pendek, penulis dapat ditindas, dipenjara, atau dieksekusi; karya mereka dibakar. Namun, dalam arus sejarah yang panjang, buku dan ide-ide yang dituangkan di dalamnya telah mengubah masyarakat.” Penerbitan First Folio karya Shakespeare pada tahun 1623 memungkinkan generasi-generasi berikutnya menikmati berbagai tragedi dan komedi yang mungkin saja telah hilang dan dilupakan. Risalah-risalah abad ke-18 seperti Common Sense karya Thomas Paine memberikan suara bagi kesadaran emansipasi revolusioner yang baru.

Benarlah apa yang dikemukakan seniman Austria, Franz Kafka, bahwa buku harus menjadi kapak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri manusia. Lautan beku yang dimaksud adalah pembusukan. Maka, betapa pentingnya budaya membaca sebagai gaya hidup masyarakat.

Penulis memahami betul bahwa:

Pertama, gerakan membaca dan menulis tidak cukup hanya diucapkan atau disampaikan dalam retorika, tetapi yang lebih penting adalah dikerjakan, diamalkan, dan diwujudkan. Penulis acap kali menyaksikan ada orang yang hanya menjadikan literasi sebagai jargon atau bahkan industri, namun tidak menerapkannya dengan baik. Inilah yang penulis sebut pseudo-literasi: mengajak orang lain membaca dan menulis, tetapi dirinya sendiri tidak membaca, apalagi menulis.

Kedua, menggerakkan budaya membaca namun menanggalkan budaya menulis. Padahal, membaca dan menulis adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Psikolog terkemuka Amerika Serikat, Pennebaker, menegaskan bahwa membaca dan menulis adalah dua aspek penting dalam proses pembudayaan literasi. Hanya dengan budaya menulis yang tinggi, bangsa Indonesia bisa mencapai peradaban yang tinggi.

Ketiga, meskipun budaya membaca dan menulis sudah mulai bergerak, budaya wakaf buku atau donasi buku untuk perpustakaan desa, lorong, komunitas, dan taman membaca belum bergerak secara maksimal. Gerakan wakaf buku atau aksi sejuta buku menjadi penting untuk menjawab kelangkaan buku-buku berkualitas, terutama di perpustakaan sekolah, desa, lorong, kampung, dan komunitas baca. Jujur, penulis mengakui bahwa masyarakat belum bisa berharap banyak dari negara, terutama dalam penyediaan buku bacaan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat seperti yang tertua dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, khususnya pada Pasal 43, sangatlah penting. Pasal tersebut menegaskan bahwa masyarakat ikut serta dalam pembentukan, penyelenggaraan, pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan perpustakaan.

Buku Melawan Kebodohan

Mengutip pernyataan Dauzan Farook, ditegaskan bahwa senjata untuk melawan pencurian adalah buku. Hemat penulis, siapa pun yang membaca buku akan lebih berdaya, karena hanya dengan membaca, masyarakat akan berdaya. Dan hanya masyarakat yang berdaya karena membaca yang akan menikmati efek kesejahteraan. Maka, membacalah buku, karena hanya dengan buku yang kuat, masyarakat akan melek literasi.

Terima kasih kepada tokoh-tokoh yang ikut serta mendukung upaya memperluas akses terhadap buku-buku bermutu di Indonesia. Mereka menulis dan menerbitkan buku, lalu mewakafkannya ke berbagai perpustakaan kabupaten/kota, baik di Sulawesi Selatan maupun Indonesia Timur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: Dr. H. A. S. Chaidir Syam, S.IP., M.H. Dr. Adin Bondar, M.Si. Dr. K.H. Masrur Makmur Latanro, M.Pd.I. Dr. K.H. Amirullah Amri, M.A. Dr. H. M. Amir Uskara, M.Kes. Drs. H. Iksan Iskandar, M.Si. Dr. H. Alimuddin, S.H., M.H., M.Kn. Dr. H. Basmin Mattayang, M.Pd. Dr.H.Amran, M.Si. Prof Dr Jasruddin Daud Malago  dan Dr Hartina Fattah, SS, MM

Akhirnya, penulis mengajak pembaca untuk menjadikan momentum Hari Buku Nasional (HBN) sebagai bulan membaca dan menulis, sekaligus membangun kesadaran kolektif bahwa literasi bukan hanya dibicarakan, tapi dikerjakan. Literasi tidak cukup hanya menjadi latar foto-foto atau dibahas di panggung hotel berbintang—yang lebih penting, harus diwujudkan dan dilaksanakan di tengah masyarakat. Semoga. [] Bachtiar Adnan Kusuma Ketua Forum Nasional Penerima Penghargaan Tertinggi Nugra Jasa Dharma Pustaloka, Perpustakaan Nasional RI

 

 

Leave a Response