
Oleh Bachtiar Adnan Kusuma
KALAU– ditanya siapa yang paling berbahagia menjelang tanggal 17 Mei setiap tahun, maka jawabannya adalah penulis. Mengapa? Selain karena tanggal 17 Mei 2025 diperingati sebagai Hari Buku Nasional (HBN)—yang pertama kali dirayakan pada 17 Mei 2002 oleh Presiden SBY dan Wakil Presiden JK yang menetapkannya sebagai Hari Buku Nasional—pada sisi lain, tanggal 17 Mei juga menjadi momen spesial bagi penulis. Bukan hanya karena pada tanggal tersebut penulis memutuskan untuk bergelut di dunia perbukuan—tepatnya tahun 1995 dari Makassar sebelum migrasi ke Ibu Kota Jakarta—tetapi juga karena tanggal itu merupakan hari pernikahan penulis dengan istri tercinta, Ani Kaimuddin Mahmud, pada tahun 1996.
Suatu kehormatan dan kebahagiaan bagi penulis karena pada Mei 2025 genap 29 tahun aktif terlibat dalam panggung pengabdian gerakan literasi dan perbukuan nasional. Pada suatu pertemuan medio 2023, Kepala Perpustakaan Nasional RI saat itu, Muhammad Syarif Bando, memperkenalkan penulis dengan bentangan jalan panjang gerakan membaca dan menulis di Indonesia. Dalam kesempatan itu, beliau menyerahkan Piala Penghargaan Tertinggi Perpustakaan Nasional, Nugra Jasa Dharma Pustaloka, yang disaksikan oleh seluruh pejabat eselon satu, dua, dan tiga Perpustakaan Nasional di Auditorium Mini Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta.
Buku dan Agen Perubahan
Penulis mengutip sebuah buku berjudul Buku-Buku yang Mengubah Dunia karya Andrew Taylor, seorang jurnalis televisi, surat kabar, dan majalah Sunday Times. Dalam bukunya, Taylor menempatkan dirinya sebagai petugas yang menantang untuk memilih dan mengikhtisarkan 50 buku paling berpengaruh dalam sejarah dunia.
Benarlah apa yang dikemukakan seniman Austria, Franz Kafka, bahwa buku harus menjadi kapak untuk menghancurkan lautan beku di dalam diri manusia. Lautan beku yang dimaksud adalah pembusukan. Maka, betapa pentingnya budaya membaca sebagai gaya hidup masyarakat.
Pertama, gerakan membaca dan menulis tidak cukup hanya diucapkan atau disampaikan dalam retorika, tetapi yang lebih penting adalah dikerjakan, diamalkan, dan diwujudkan. Penulis acap kali menyaksikan ada orang yang hanya menjadikan literasi sebagai jargon atau bahkan industri, namun tidak menerapkannya dengan baik. Inilah yang penulis sebut pseudo-literasi: mengajak orang lain membaca dan menulis, tetapi dirinya sendiri tidak membaca, apalagi menulis.
Kedua, menggerakkan budaya membaca namun menanggalkan budaya menulis. Padahal, membaca dan menulis adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Psikolog terkemuka Amerika Serikat, Pennebaker, menegaskan bahwa membaca dan menulis adalah dua aspek penting dalam proses pembudayaan literasi. Hanya dengan budaya menulis yang tinggi, bangsa Indonesia bisa mencapai peradaban yang tinggi.
Buku Melawan Kebodohan
Mengutip pernyataan Dauzan Farook, ditegaskan bahwa senjata untuk melawan pencurian adalah buku. Hemat penulis, siapa pun yang membaca buku akan lebih berdaya, karena hanya dengan membaca, masyarakat akan berdaya. Dan hanya masyarakat yang berdaya karena membaca yang akan menikmati efek kesejahteraan. Maka, membacalah buku, karena hanya dengan buku yang kuat, masyarakat akan melek literasi.