
Oleh : M Kh Rachman Ridhatullah (Pengajar & Pegiat Pendidikan di Kota Bandung)
Di sebuah sekolah, seorang kepala sekolah menampar siswa yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Sebuah reaksi spontan, mungkin emosional, tapi jelas lahir dari niat menegakkan disiplin.
Namun beberapa waktu kemudian, yang ditampar bukan hanya pipi siswa itu — melainkan wajah sistem pendidikan kita sendiri. Orang tua sang siswa melapor ke polisi, berita menyebar cepat, media sosial berisik, dan ratusan siswa lain mogok belajar. Solidaritas, katanya. Solidaritas kepada pelanggaran.
KITA-– hidup di zaman yang aneh. Guru dikondisikan takut menegur karena takut viral. Kepala sekolah diarahkan takut menindak karena takut dipolisikan. Dan anak-anak belajar bahwa konsekuensi bisa dinegosiasikan asal punya simpati publik. Kita menyaksikan wibawa pendidikan tergerus, digantikan oleh kepekaan semu terhadap “rasa” — rasa kasihan, rasa tersinggung, rasa takut dinilai keras.
Moralitas yang Kalah oleh Popularitas
Kisah ini bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini tentang bagaimana bangsa ini kehilangan arah dalam memahami nilai. Ketika pelanggaran disambut dengan pembelaan massal, dan ketegasan diseret ke meja hukum, maka yang rusak bukan hanya satu sekolah — tapi fondasi moral sebuah generasi.
Dulu, tamparan di sekolah bukan hanya teguran, tapi bagian dari pendidikan karakter dan disiplin belajar siswa. Penulis pun pernah mendapatkan hadiah tamparan dari seorang guru; yang memang terkenal “killer” pada masa sekolah dulu, semata-mata karena salah menjawab pertanyaan dalam pelajaran Bahasa Inggris.
Kini, tamparan menjadi perkara pidana. Kita tidak sedang membela kekerasan fisik, tetapi mempertanyakan : sejak kapan menegakkan aturan dianggap kejahatan? Apakah karena kita sudah terbiasa melihat moralitas lewat kaca media sosial yang menilai hanya dari potongan video, tanpa konteks dan niat?
Kita membesarkan generasi yang cepat tersinggung tapi malas bercermin. Yang pandai menuntut hak, tapi gagap menghadapi konsekuensi. Generasi yang percaya bahwa kasih sayang berarti tidak boleh ditegur, bahwa empati berarti meniadakan batas. Dan sekolah, institusi yang seharusnya menjadi tembok terakhir penjaga nilai, kini berdiri gamang di antara simpati publik dan tanggung jawab moral.
Guru yang Dikriminalisasi, Bangsa yang Dilumpuhkan
Pendidikan tanpa wibawa adalah panggung tanpa naskah. Guru bukan lagi sosok yang dihormati, melainkan pihak yang harus berhati-hati terhadap kamera ponsel. Sekolah bukan lagi tempat mendidik, tapi sekadar lembaga administratif yang menjalankan aturan agar tidak bermasalah hukum.
Kita kehilangan keberanian moral untuk berkata “ini salah” dan “ini benar”. Padahal, setiap bangsa besar berdiri di atas dua tiang: kasih sayang dan ketegasan. Kasih sayang tanpa ketegasan melahirkan generasi yang manja. Ketegasan tanpa kasih melahirkan generasi yang trauma.
Pendidikan sejati selalu mencari keseimbangannya. Tapi sistem kita telah lama kehilangan keseimbangan itu.
Kita terlalu sibuk menghitung indeks literasi, tapi lupa mengukur integritas. Terlalu rajin membangun kurikulum baru, tapi malas memperkuat karakter dasar. Kita menulis nilai “disiplin” di Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, tapi takut menegakkannya di lapangan.
Dan kini, saat seorang kepala sekolah mencoba menegakkan aturan, ia justru menjadi pesakitan. Apakah ini bangsa yang kita impikan? Bangsa yang menuntut guru bertanggung jawab, tapi menolak murid diajarkan tanggung jawab?
Tamparan yang Menggema ke Seluruh Negeri
Tamparan itu, pada akhirnya, bukan hanya soal fisik. Ia adalah simbol dari benturan nilai antara dunia lama yang masih percaya pada ketegasan, dan dunia baru yang menolak segala bentuk otoritas. Tapi dalam benturan itu, kita tidak sedang menjadi lebih adil, hanya menjadi lebih rapuh.
Anak-anak tumbuh dengan kulit yang halus tapi hati yang tipis. Pandai bicara hak asasi, tapi tidak tahu makna hormat. Cerdas di kepala, tapi kosong di dada. Dan di sinilah tragedi pendidikan modern dimulai — ketika kita mencetak generasi yang berani melawan guru, tapi tak mampu melawan godaan moralnya sendiri.
Satu tamparan dari seorang kepala sekolah kini menjadi tamparan bagi sistem pendidikan yang kehilangan ruhnya. Pendidikan yang disetir oleh sensitivitas publik, bukan oleh nilai.
Pendidikan yang ingin menyenangkan semua pihak, tapi akhirnya tidak mendidik siapa pun.
Negeri yang Menampar Gurunya Sendiri
Ada pepatah lama yang kini terdengar seperti peringatan : “Matinya wibawa guru adalah awal runtuhnya sebuah bangsa.” Hari ini, pepatah itu terasa nyata. Kita menonton kejatuhan wibawa itu di layar ponsel kita sendiri. Dan kita diam — seolah semuanya biasa.
Kita menonton seorang kepala sekolah dijadikan tersangka karena menegur pelanggaran, sementara pelanggaran itu sendiri hilang dari pembicaraan publik. Kita menonton ratusan siswa mogok belajar, bukan karena kehilangan haknya, tapi karena mereka belajar dari dunia bahwa pelanggaran bisa jadi simbol heroik.
Kita lupa bahwa menghormati guru bukan sekadar sopan santun, tapi bagian dari keberlangsungan moral bangsa. Sebab, ketika guru kehilangan otoritas, murid kehilangan arah. Dan ketika sekolah kehilangan wibawa, negara kehilangan masa depan.
Pendidikan yang Kehilangan Keberanian
Barangkali, kita memang hidup di masa di mana mendidik jadi pekerjaan paling berisiko. Tapi bangsa yang sehat bukan bangsa yang menghapus disiplin, melainkan bangsa yang memperhalus cara menegakkannya. Kita tidak perlu membenarkan tamparan, tapi kita juga tidak boleh membenarkan ketidakpedulian terhadap nilai.
Sebab, jika hari ini seorang kepala sekolah harus berhadapan dengan hukum karena menegakkan aturan, maka besok bisa jadi guru lain memilih diam. Dan di saat guru memilih diam, hancurlah pendidikan itu sendiri.
Tamparan itu seharusnya menjadi cermin, bukan tuntutan. Cermin bagi orang tua, bagi guru, bagi kita semua — bahwa pendidikan tanpa keberanian moral hanyalah upacara tanpa makna. Sebab, di negeri yang menampar gurunya sendiri, masa depan sedang ditulis oleh generasi yang tidak tahu lagi apa arti hormat. Bandung, 16 Oktober 2025
Kegalauan rasa menjelang Ashar
Hari memang telah mulai senja
Akankah bangsa ini juga demikian ?