Opini

Sekedar Renungan Tentang Kepercayaan Publik : Publik Bisa Memaafkan Kesalahan, Tapi Tidak Akan Pernah Memaafkan Kebohongan

Dan, sekali lagi : kepercayaan itu kaca. Ia jernih, rapuh, indah. Jangan sampai kita sendiri yang memecahkannya dengan tangan kita yang tertutup. 

32views

Oleh M Kh Rachman Ridhatullah ( Direktur Perencanaan Strategis Kendilima Strategic Communictions)

Kepercayaan publik itu rapuh. Ia bukan batu karang, tapi kaca bening : sekali retak, sulit kembali utuh. Dan kaca itu hanya bisa tetap jernih bila dibersihkan dengan satu hal : keterbukaan !

Hari ini kita hidup di dunia di mana informasi berjalan lebih cepat daripada kebenaran. Hoaks beranak-pinak, opini berseliweran, dan publik tak lagi mudah percaya pada janji atau slogan. Mereka lapar akan kejelasan, haus akan transparansi, dan marah ketika merasa dipermainkan. Pertanyaannya: apakah institusi-institusi pemerintahan kita siap membuka diri, atau masih bersembunyi di balik tembok birokrasi dan bahasa kaku yang penuh alasan?

 

MARI — jujur. Banyak lembaga kita jatuh bukan karena gagal bekerja, tapi karena gagal bicara. Karena lebih sibuk mengatur narasi daripada menyampaikan fakta. Karena terlambat merespons ketika badai kritik sudah telanjur datang. Karena mengira masyarakat bisa diredam dengan potongan data dan jargon teknis.

Lihatlah ketika pandemi melanda : angka berubah setiap hari, istilah membingungkan, dan masyarakat lebih percaya pada pesan WhatsApp daripada siaran resmi pemerintah. Atau saat perusahaan besar menghendaki kasus lingkungan : alih-alih merangkul publik dengan penjelasan jujur, mereka memilih diam, defensif, dan akhirnya reputasi pun runtuh.

Kepercayaan, ternyata, bukan diruntuhkan oleh ringkasan besar, namun oleh keengganan kecil untuk jujur.

 Luka yang Membusuk Diam-Diam

Masalahnya bukan semata-mata di komunikasi. Lebih dalam dari itu, ada budaya lama yang menolak keterbukaan. Informasi dianggap milik pejabat, bukan hak rakyat. Data disimpan secara rapat, seolah-olah transparansi adalah ancaman, bukan kewajiban.

Di era ini, sikapnya tidak ketinggalan zaman—ia berbahaya. Publik yang menutup aksesnya akan mencari jalan lain. Dan di ruang digital, jalan lain itu sering kali penuh jebakan : hoaks, manipulasi, propaganda. Maka jangan heran bila ketidakpercayaan tumbuh subur : sistemik, menyeluruh, hampir menjadi norma baru.

 Cermin dari Tahun-Tahun Terbaru

Lihat indeks keterbukaan informasi publik kita : naik hanya seujung kuku, dari 75,40 ke -75,65. Masih “sedang.” Masih formalitas. Masih lebih banyak laporan di atas kertas daripada transparansi nyata.

Lihat pula pengakuan Presiden Prabowo di awal 2025 : komunikasi publik pemerintahannya buruk. Bayangkan, kepala negara sendiri yang mengakuinya. Apa artinya? Artinya komunikasi bukan pelengkap, tapi nadi. Tanpanya, kebijakan hebat pun kehilangan makna.

Belum lagi kontroversi RUU Statistik, yang justru bisa mengalihkan akses informasi. Seolah-olah kita lupa : demokrasi hanya bisa tumbuh dengan cahaya, bukan dengan tirai gelap.

 Menolak Diam, Memilih Terang

Apakah masih ada jalan keluar? Tentu saja. Tapi itu butuh keberanian. Keberanian untuk menempatkan keterbukaan sebagai investasi jangka panjang, bukan beban sesaat.

Bayangkan bila setiap lembaga berani membuka data lengkap, tanpa potongan. Bayangkan bila komunikasi tak lagi satu arah, tapi dialog. Bayangkan bila pejabat tidak hanya hafal teks, namun mampu berbicara dengan hati. Bayangkan bila ruang digital kita dipenuhi informasi real-time yang ramah, mudah, dan dapat dioperasikan.

Itu bukan utopia. Itu kebutuhan. Dan itu mungkin hanya bila pemerintah, media, penyiaran, swasta, dan masyarakat sipil bergerak bersama. Karena kepercayaan tak bisa dibangun sendirian.

 Harapan yang Tak Boleh Padam

Kita percaya, masyarakat tidak menonton penonton yang cerewet. Mereka adalah mitra, penjaga, sekaligus penentu masa depan sebuah lembaga. Mereka bisa memaafkan kesalahan, tapi jarang memaafkan penjelasannya.

Maka, berhentilah bersembunyi. Buka tirai, biarkan cahaya masuk. Biarkan rakyat tahu apa adanya—manis atau pahit. Karena transparansi memang membawa risiko, namun risiko yang lebih besar adalah hilangnya kepercayaan. Dan sekali lagi : kepercayaan itu kaca. Ia jernih, rapuh, indah. Jangan sampai kita sendiri yang memecahkannya dengan tangan kita yang tertutup. ** Penulis Penggiat Literasi dan Budaya Baca Nasional, bertempat tinggal di Bandung.

 

 

 

Leave a Response