
Oleh Ridhazia
INI istilah rancu jika disandingkan dengan penyebutan — semisal agama Islam atau agama-agama lainya — sehingga agama digital terkesan sebagai agama “baru”.
Padahal yang dimaksud agama digital adalah digitalisasi agama, yakni konversi pesan agama dari semula pesan analog ke digital oleh komunitas keagamaan di ruang virtual.
Dari analog ke digital
Kekelompok aliran “agama baru” ini pada dasarnya sebatas proses mengubah media (bukan pesan) yang sebelumnya dalam bentul kertas, audio, atau video ke dalam bentuk digital seperti file digital, database, atau kode.
Semua pesan dikemas dengan memanfaatkan teknologi baru dalam berinteraksi untuk kesamaan menopang iman dan Tujan yang disebut aplikasi dan platform media sosial Facebook, Instragram, WhatsApp, Tiktok dsb.
Pendek Kata
Pendek kata, omon-omon agama digital tak lain medium beragama yang dikonstruksi oleh tokoh dan organisasi keagamaan dari dunia nyata ke dunia maya.
Selebihnya sama saja. Itu itu juga tentang itu itu juga oleh orang itu itu juga yang jika dibingkai pemikiran Anastasia Karaflogka (2002) kekelompokan agama digital tak lebih sebagai ‘religion on cyberspace’ saja.
Cyberspace merujuk pada dunia maya, yaitu lingkungan virtual yang tercipta melalui jaringan komputer dan sistem elektronik yang saling terhubung. ruang di mana komunikasi, pertukaran data, dan interaksi digital terjadi.
Karena cyber space bukanlah ruang fisik, melainkan ruang virtual yang ada di dalam jaringan tak nampak sebagaimana interaksi di masjid. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan kouninikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.





