
Oleh: Ridhazia
SEBUAH bangunan pesantren diberitakan ambruk. Meski ceritanya jauh berbeda mengingatkan pada judul novel AA Navis “Robohnya Surau Kami” yang pertama terbit tahun 1956.
Kali ini, akibat roboh pesantren, selain melukai, juga mewafatkan santri yang mondok di pesantren itu. Diberitakan, total korban hingga Minggu (5/10) sebanyak 104 luka dan 45 orang meninggal dunia.
Semua doa, simpati dan empati dikhususkan untuk korban musibah ini. Juga berharap dikemudian hari ada sanksi pidana yang menyertainya untuk siapa yang paling bertanggungjawab.
Kesejatian Musibah
Dalam referensi ajaran Islam musibah itu cobaan bagi manusia pelupa. Sekaligus peringatan bagi manusia sombong. Sedangkan bagi orang ingkar, musibah itu azab.
Pendek kata, musibah bukan sebatas nasib dan takdir yang datang begitu saja datang, lalu disambut dan harus diterima dalam kesedihan. Lalu dilupakan.
Kecerobohan
Niat baik saja tidak cukup. Tapi juga butuh keahlian. Jika keduanya diabaikan, berpotensi kecerobohan (recklessness).
Kecerobohan adalah kegagalan untuk menimbang konsekuensi terburuk. Sebuah tindak gegabah karena ketidakpedulian terhadap bahaya.
Pendek kata, kecerobohan itu terjadi karena tidak adanya pertimbangan yang matang. Setidaknya, tidak direncanakan dan dikerjakan bukan oleh para ahlinya.
Dipidana!
Kecerobohan berpotensi sanksi pidana. Alias dipenjara. Apalagi telah mengakibatkan kerugian dan kematian.
Sanksi pidana kecerobohan sebagaimana diatur dalam berbagai pasal KUHP. Khususnyan Pasal 359 tentang kelalaian menyebabkan kematian.
Tindak pidana kecerobohan bukan delik aduan. Artinya, diproses tanpa menunggu laporan atau pengaduan dari pihak manapun. Polisi wajib melakukan penyelidikan dan penyidikan hingga diadili di pengadilan.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.