
Oleh: Ridhazia
DIBERITAKAN, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Salah satunya, Pak Harto (1921-2008). Smile General yang menjadi Presiden kedua RI selama 32 tahun. Ia berkuasa dari tahun 1967 hingga mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.
Secara konstitusional, ia tidak mengambil alih kekuasan dari Bung Karno. Tapi pada Maret 1967 diangkat dan dikukuhkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (Majelis Legislatif Nasional) sebagai penjabat presiden.
Selanjutnya, setahun kemudian pada Maret 1968 para wakil rakyat Indonesia di lembaga legislatif memilihnya menjadi presiden untuk masa jabatan lima tahun. Dan, seterusnya.
Secara konstitusional pula, Pak Harto mengunduran diri. Sebuah keputusan pribadi, sebuah keniscayaan sang presiden untuk memilih berhenti atas permintaan sendiri.
Dan, kemudian digantikan wakilnya, BJ Habibie menjadi Presiden RI ke tiga. Proses ini sepenuhnya konstitusional pada era transisi politik.
Secara hukum pun, dugaan dan sangkaan Pak Harto menyalahgunakan kekuasaan, sampai saat ini tak ada keputusan pengadilan yang memenjarakannya. Sepenuhnya bebas tanpa status tersangka atau terpidana hingga akhir hayat.
Sang Pahlawan
Bagi saya pribadi, tidak ada alasan untuk menolak Pak Harto diangkat menjadi pahlawan nasional.
Tiga dekade kekuasaannya yang tak terputu ia memberikan pengabdian terbaik bagi Indonesia. Stabilitas politik yang siginifikan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Lamanya menjadi presiden dengan seluruh dinamika politik selama berkuasa, plus-minusnya sebagai manusia biasa sejatinya menjadi catatan yang layak dihargai dan dinyatakan berjasa oleh Presiden Prabowo yang secara pribadi sangat dekat, bahkan bagian dari keluarga.
Karir Cemerlang
Apalagi, karir Pak Harto sebagai tentara sangat cemerlang. Seluruh kehidupannya diabdikan untuk negara dan bangsa sejak prakemerdekaan hingga akhir hayat.
Ia juga mencacatkan diri sebagai militer berdidikasi dan bertempur dalam pasukan gerilya melawan ekspasionais Belanda. Juga konflik bersenjata di dalam negeri yang belum stabil selama era Orde Baru.
Di awal kehidupan sebagai prajurit ia sudah menjadi komandan batalyon di Jawa Tengah dan mencapai pangkat letnan kolonel. Artinya, ia tentara cerdas dan ulet.
Selama 15 tahun berikutnya ia naik pangkat dengan mantap di tentara Indonesia, menjadi kolonel pada tahun 1957 dan menjadi jenderal tahun 1960.
Anti Komunis
Standar politik yang cukup menjadi alasan dibalik Jenderal “bintang lima” Soeharto dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yaitu komitmen politik yang nasionalis religius.
Pak Harto menjadi tokoh anti komunis, sebuah ideologi yang meniscayakan berbanding terbalik bahkan berbeda dengan mayoritas bangsa beragama.
Sang Presiden membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menindas simpatisannya setelah percobaan kudeta G30S pada tahun 1965.
Kebijakan anti-komunis ini menjadi inti dari rezimnya dan berlanjut selama masa kekuasaannya menjadi alasan ia menjadi peletak dasar ideologi negara.
Apalagi, usia Pak Harto sudah lebih seabad. Dan, tepat waktunya, Presiden Prabowo menyegerakan mengangkat sebagai Pahlawan Nasional, tahun ini juga.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.



