Opini

Mengapa Literasi Tidak Pernah Jadi Prioritas?

Mengapa Literasi Tidak Pernah Jadi Prioritas?

36views

Oleh Naufal Nabilludin dan Gol A Gong – ( Relawan Rumah  Dunia)

Sejak menjadi relawan Rumah Dunia pada 2022, saya menyadari ada kejanggalan dalam kegiatan literasi di Indonesia, terutama terkait keberpihakan pemerintah dalam hal anggaran. Dinas-dinas perpustakaan di daerah seringkali beralasan tidak punya anggaran atau anggarannya sedikit saat diminta menyelenggarakan kegiatan literasi.

 EFISIENSI — anggaran yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto beberapa bulan terakhir telah memaksa banyak program pemerintah beradaptasi. Program yang dianggap kurang penting dan menghambur-hamburkan uang dihilangkan. Ironisnya, di saat yang sama justru muncul isu kenaikan tunjangan anggota DPR RI yang disertai arogansi beberapa anggotanya.

Kebijakan efisiensi ini berdampak luas. Transfer ke daerah berkurang, sementara struktur kabinet semakin gemuk. Akibatnya, banyak daerah mencari cara instan untuk menambal anggaran yang dipangkas, salah satunya dengan menaikkan pajak, seperti yang terjadi di Pati, Jawa Tengah.

Terlepas dari dinamika yang terjadi, ada satu hal penting yang kadang luput dari perhatian publik, namun memiliki dampak fundamental bagi masa depan bangsa: literasi.

Sejak menjadi relawan Rumah Dunia pada 2022, saya menyadari ada kejanggalan dalam kegiatan literasi di Indonesia, terutama terkait keberpihakan pemerintah dalam hal anggaran. Dinas-dinas perpustakaan di daerah seringkali beralasan tidak punya anggaran atau anggarannya sedikit saat diminta menyelenggarakan kegiatan literasi.

Hal ini terjadi karena mereka masuk dalam kategori dinas tipe C, yang dianggap bukan prioritas daerah, sehingga anggaran yang diterima minim. Ditambah ada anggapan bahwa orang-orang yang ada di dinas perpustakaan adalah “orang buangan”.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di daerah. Anggaran Perpustakaan Nasional yang semula Rp721 miliar pada tahun 2025 dipangkas menjadi Rp441,8 miliar karena efisiensi. Yang lebih menyedihkan, dalam rapat bersama Komisi X DPR, anggaran Perpustakaan Nasional di RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp377,9 miliar. Meskipun masih diperjuangkan, angka ini menunjukkan tren penurunan yang sangat mengkhawatirkan sekaligus bukti bahwa pemerintah tidak terlalu memprioritaskan literasi.

Padahal, beberapa tahun terakhir Perpusnas RI justru berhasil melahirkan inovasi penting. Program seperti Duta Baca Indonesia, Relawan Literasi Masyarakat, dan KKM Literasi terbukti menyentuh masyarakat secara langsung dan ikut membangun tren literasi yang semakin baik.

Di titik ini, saya merasa ada anomali dalam kebijakan negara. Negara ingin masyarakatnya pintar dan literasinya meningkat, tetapi program yang mendukung minat baca justru dipangkas anggarannya. Di sisi lain, anggota DPR dengan mudah menikmati tambahan tunjangan. Bukankah UUD mengamanatkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Lalu, mengapa anggaran untuk literasi selalu dikurangi?

Padahal, banyak pegiat literasi di lapangan bekerja tanpa pamrih. Mereka menyisihkan uang, tenaga, dan waktu demi meningkatkan indeks literasi masyarakat meskipun tidak digaji. Rasanya, kegiatan literasi yang digerakkan komunitas seringkali lebih masif dan konsisten daripada yang dilakukan dinas resmi.

Yang lebih menyedihkan lagi, Gol A Gong, Duta Baca Indonesia 2021-2025, sempat mempertanyakan isu penghapusan program Duta Baca Indonesia pada 2026 dengan alasan efisiensi anggaran.

Sebagai seseorang yang beberapa kali ikut dalam program kerja Gol A Gong, saya melihat sendiri bahwa tidak semua kegiatan dibiayai dari anggaran negara baik itu APBN maupun APBD. Seringkali komunitas, pegiat literasi, dan masyarakat luas berkolaborasi untuk membuat kegiatan.

uta Baca Indonesia bukan hanya sebatas ikon, tetapi juga menjadi penghubung dan penjahit berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pegiat literasi, taman bacaan, komunitas, sekolah, kampus, dinas, hingga kepala daerah, untuk menciptakan ekosistem literasi yang lebih baik.

Jika program-program positif seperti ini benar-benar hilang, maka target besar Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong. Bagaimana mungkin bangsa ini menjadi unggul dan berdaya saing jika urusan mendasar seperti literasi tidak diprioritaskan?

Leave a Response