Oleh Budi Setiawan
PADA Senin, 24 Juni 2024, sidang praperadilan yang seharusnya memeriksa penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky ditunda. Sidang di Pengadilan Negeri Bandung itu batal karena Polda Jawa Barat sebagai termohon tidak hadir. Kasus ini langsung memicu banyak pertanyaan dan kritik di kalangan publik. Mengapa institusi penegak hukum bisa mangkir dari sidang penting seperti ini?
Praperadilan adalah hak setiap tersangka untuk menguji legalitas tindakan polisi, seperti penangkapan dan penahanan. Ketidakhadiran polisi dalam sidang ini bukan hanya menunda proses hukum, tapi juga mencederai prinsip keadilan. Bagi Pegi, sidang pra peradilan adalah kesempatan memastikan hak-haknya dihormati. Namun, dengan mangkirnya Polda Jawa Barat, kesempatan ini seolah diabaikan.
Dampak dari ketidakhadiran ini sangat luas. Pertama, reputasi dan citra profesionalisme kepolisian menjadi taruhannya. Publik mengharapkan polisi bertindak profesional dan taat hukum. Ketika polisi tidak hadir dalam sidang, masyarakat bisa melihatnya sebagai tanda bahwa polisi tidak menghormati proses hukum. Ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap polisi dan mengundang spekulasi negatif tentang transparansi dan akuntabilitas institusi penegak hukum.
Kedua, ketidakhadiran ini memperkuat persepsi bahwa polisi bisa bertindak sewenang-wenang tanpa pengawasan yang memadai. Masyarakat jadi semakin skeptis dan kurang percaya pada integritas polisi. Ini bisa berujung pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan yang lebih luas terhadap sistem peradilan secara keseluruhan.
Ketiga, absennya polisi dalam sidang pra peradilan bisa berdampak langsung pada hasil kasus. Hakim bisa memutuskan perkara tanpa kehadiran termohon, yang bisa merugikan posisi polisi. Dalam kasus Pegi Setiawan, jika hakim memutuskan penetapan tersangka tidak sah karena ketidakhadiran Polda Jawa Barat, ini akan menjadi preseden buruk bagi polisi dan menghambat proses penegakan hukum di masa depan.
Keempat, hubungan antara polisi dan masyarakat bisa semakin memburuk. Kepercayaan publik adalah elemen kunci dalam penegakan hukum yang efektif. Jika masyarakat kehilangan kepercayaan pada polisi, mereka bisa menjadi enggan untuk melaporkan kejahatan atau memberikan informasi yang penting bagi penyelidikan. Akibatnya, efektivitas penegakan hukum berkurang dan rasa ketidakamanan di masyarakat meningkat.
Kelima, ketidakhadiran polisi dalam sidang pra peradilan dapat memicu tuntutan untuk reformasi hukum. Masyarakat dan organisasi masyarakat sipil bisa mendesak perubahan dalam prosedur hukum dan peningkatan akuntabilitas penegak hukum. Ini bisa mencakup revisi KUHAP untuk memperkuat mekanisme pra peradilan dan memastikan bahwa polisi tidak bisa dengan mudah menghindari panggilan pengadilan.
Polda Jawa Barat dan institusi kepolisian lainnya harus memahami bahwa kehadiran dalam sidang praperadilan bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral. Ini adalah bagian dari komitmen mereka untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan. Dengan hadir dalam sidang pra peradilan, polisi bisa menunjukkan bahwa mereka siap mempertanggungjawabkan tindakan mereka dan menghormati hak-hak tersangka.
Untuk mengatasi masalah ini, Polda Jawa Barat dan institusi kepolisian lainnya harus memastikan bahwa mereka selalu hadir dalam sidang praperadilan. Selain itu, mereka perlu meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas mereka. Ini termasuk memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada anggota kepolisian tentang pentingnya mengikuti prosedur hukum dan menghormati hak-hak individu.
Pada akhirnya, ketidakhadiran penegak hukum dalam sidang praperadilan adalah masalah serius yang dapat merusak kepercayaan publik dan integritas sistem peradilan. Kepolisian harus mengambil langkah-langkah proaktif untuk memastikan bahwa mereka tidak mengulangi kesalahan ini dan tetap berkomitmen untuk menegakkan hukum secara adil dan transparan. Hanya dengan demikian, mereka dapat memulihkan kepercayaan publik dan memperkuat posisi mereka sebagai penjaga hukum yang dihormati dan dipercaya.
Kasus Pegi Setiawan ini seharusnya menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum adalah kunci untuk menjaga keadilan dan kepercayaan masyarakat. Penegak hukum harus selalu siap diuji dan mempertanggungjawabkan tindakan mereka di hadapan pengadilan, demi terciptanya sistem peradilan yang adil dan terpercaya.*
* Budi Setiawan, pemerhati sosial politik alumnus FISIP Unpad Kota Bandung, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.




