Kolom Sosial Politik

Kebijakan Tanpa Kompas

228views

 

Oleh Budi Stiawan

GELOMBANG demonstrasi mahasiswa dan aksi protes dari berbagai elemen masyarakat beberapa waktu lalu terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Prabowo Subianto mengindikasikan kuatnya ketidakpuasan yang mendalam. Fenomena ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam formulasi kebijakan yang tampak tidak memiliki arah yang jelas, penuh kontradiksi, serta minim perencanaan strategis. Dari program populis seperti Makan Siang Gratis hingga pemangkasan anggaran kementerian secara luas, tampak bahwa orientasi pemerintahan lebih bertumpu pada kompromi politik daripada efektivitas tata kelola negara.

Prabowo membentuk kabinet dengan jumlah kementerian yang besar, sebuah strategi politik yang dapat dipahami sebagai langkah menjaga stabilitas koalisi. Namun, secara administratif dan fiskal, keputusan ini berpotensi menghambat efisiensi pemerintahan. Pemangkasan anggaran yang dilakukan serentak justru menambah ketidakseimbangan, mengurangi daya dukung birokrasi terhadap program prioritas, dan berisiko menimbulkan stagnasi kebijakan akibat lemahnya koordinasi lintas sektor.

Demonstrasi mahasiswa yang marak terjadi di berbagai daerah juga bukan hanya refleksi dari ketidakpuasan politik, tetapi juga reaksi terhadap kebijakan yang tidak konsisten. Pemotongan anggaran di sektor strategis seperti pendidikan, riset, dan layanan sosial menimbulkan kekhawatiran mengenai masa depan pembangunan sumber daya manusia. Ironisnya, pemangkasan ini dilakukan di saat jumlah kementerian meningkat, mencerminkan perbedaan tajam antara retorika efisiensi dan realitas kebijakan yang dijalankan.

Kabinet yang gemuk juga menimbulkan tantangan struktural berupa tumpang tindih kewenangan, peningkatan kompleksitas birokrasi, serta potensi inefisiensi anggaran. Struktur pemerintahan yang terlalu besar dapat memperlambat pengambilan keputusan dan menghambat implementasi program seperti Makan Siang Gratis akibat birokrasi yang berbelit. Akibatnya, kebijakan yang diusung berisiko gagal mencapai tujuan yang dijanjikan.

Jika pola kebijakan ini terus berlanjut, beberapa risiko strategis dapat terjadi. Pertama, alokasi anggaran yang tidak seimbang akan memperburuk ketimpangan pembangunan. Tanpa distribusi sumber daya yang adil, kesenjangan sosial-ekonomi semakin lebar dan memicu ketidakstabilan.

Kedua, legitimasi politik pemerintah dapat mengalami erosi. Jika kebijakan yang diambil bertentangan dengan harapan publik, maka kepercayaan terhadap pemerintahan akan menurun, berpotensi memperbesar eskalasi protes di masa depan.

Ketiga, kabinet yang berorientasi pada akomodasi politik dapat menjadi bumerang. Jika tidak ada hasil nyata yang dapat dirasakan oleh aktor-aktor dalam koalisi, fragmentasi politik dan ketegangan di parlemen akan meningkat, mengganggu stabilitas pemerintahan.

Keempat, ketidakpastian kebijakan dapat berdampak negatif pada ekonomi. Investor dan pelaku usaha mengandalkan konsistensi kebijakan dalam pengambilan keputusan. Jika kebijakan terus berubah tanpa arah yang jelas, kepercayaan terhadap iklim investasi akan melemah, memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam kondisi ini, pemerintahan Prabowo perlu segera melakukan koreksi. Mengedepankan kebijakan berbasis rasionalitas dan kepentingan publik, bukan sekadar kompromi politik, menjadi langkah mendesak. Jika tidak, demonstrasi mahasiswa yang terjadi saat ini hanya awal dari gejolak sosial yang lebih besar di masa depan. *

*Budi Setiawan adalah pemerhati sosial politik, mantan jurnalis senior ibukota, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran,  Bandung, Jawa Barat.

Leave a Response