
116views
Oleh Muhammad Subhan
Duta Baca sebaiknya juga penulis, selain pegiat literasi Taman Bacaan. Jangan hanya membaca buku, tapi juga menulis buku. Ini penting. Duta Baca penulis bisa jadi teladan. Duta Baca itu hebat. Sebab membaca dan menulis adalah satu kesatuan.
TAHUN 2010– saya menulis novel “Rinai Kabut Singgalang”. Prosesnya saya selesaikan di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Kebetulan, pada 2009–2012 saya dipercaya mengurus rumah berdinding kaca itu. Lokasinya di pertemuan dua gunung: Marapi dan Singgalang.
Saya senang. Karier saya sebagai wartawan yang dimulai sejak tahun 2000 sedang jenuh. Lalu saya bertemu Pak Taufiq Ismail. Di Rumah Puisi, saya bergelut dengan belasan ribu buku. Saya merasa menemukan oasis di tengah gurun. Dahaga saya hilang.
Di rumah itu, saya menuntaskan novel pertama saya.
Tahun 2011, kawan-kawan di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang mengusulkan novel itu diluncurkan dan dibedah. Saya setuju. Mereka menyarankan novelis Gol A Gong sebagai pembedah. Nama itu sudah lama saya kenal. Sejak era ’90-an dan 2000-an. Lewat karyanya di banyak media, terutama majalah remaja.
Pembedanya selain lagi adalah Arafat Nur. Ia novelis asal Aceh. Baru saja menang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Kebetulan saya kenal dekat. Kami pernah sama-sama tinggal di Aceh. Dia pun pernah datang ke rumah saya di Keude Kruenggeukueh, sewaktu saya SMA. Saya menghubunginya. Dia setuju datang ke Padang Panjang.
Seluruh kepanitiaan diurus teman-teman Diniyyah Puteri. Mereka bersemangat. Gol A Gong dan Arafat Nur akan hadir. Acara digelar di Auditorium Pesantren Modern Serambi Makkah. Saat itu medsos belum seramai sekarang, meski Facebook sudah mulai populer.
Peluncuran dan bedah buku berjalan sukses. Lebih 400 peserta hadir. Mereka terdiri dari guru, dosen, pelajar, dan pelajar. Peserta sangat antusias. Novel “Rinai Kabut Singgalang” ludes dibeli. Setelah itu, novel ini dibedah lagi di berbagai kota. Di Sumatera Barat dan luar daerah. Bahkan dijadikan bahan skripsi oleh beberapa mahasiswa di perguruan tinggi ternama.
Tahun itu pula saya bertemu langsung dengan Gol A Gong. Selama ini saya hanya mengenalnya lewat tulisan. Ternyata, ia juga pegiat literasi. Ia membangun Rumah Dunia, komunitas literasi di Banten. Rumah itu katanya dibangun dari kata-kata.
Sejak itu saya ingin berkunjung ke Rumah Dunia. Impian itu tercapai. Tahun 2018, 2019, dan 2020, saya sempat mampir ke Banten. Keluarga Gol A Gong menyambut hangat. Saya sempat bermalam di Rumah Dunia. Saya melihat ruang kerja. Saya menyaksikan koleksi bukunya. Saya ikut beberapa aktivitasnya. Ia serius membesarkan Rumah Dunia. Kepengurusannya diserahkan kepada anak-anak muda. Mereka melawan. Mahasiswa. Mereka menghidupkan kegiatan literasi secara aktif.
Dari Rumah Dunia, saya memetik inspirasi. Saya bawa pulang ke Padang Panjang. Kini kota ini telah dicanangkan sebagai Kota Literasi.
Ketika Perpustakaan Nasional RI memilih Gol A Gong sebagai Duta Baca Indonesia, saya ikut gembira. Ia berasal dari kalangan pegiat literasi. Sebelumnya, jabatan Duta Baca diisi artis tenar. Wajah mereka sering muncul di televisi.
Artis tentu sibuk. Mungkin mereka membaca buku. Tapi waktu mereka terbatas. Jarang bersua masyarakat, apalagi di akar rumput. Kalaupun hadir di sekolah atau kampus, waktunya singkat.
Gol A Gong membawa harapan baru. Ia sosok Duta Baca yang ideal. Ia tidak hanya masuk sekolah atau kampus. Ia menembus pelosok. Sampai ke daerah 3T. Ia datang dari Sabang sampai Papua. Ia menyapa komunitas baca. Ia mendengarkan suara masyarakat. Ia mencatat masalah literasi.
Tahun 2023, ia datang ke Kabupaten Pasaman Barat. Ia membawakan program Safari Literasi dari Perpusnas RI. Berkolaborasi dengan Perpustakaan Daerah Pasaman Barat dan Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat. Ia juga mengunjungi Rumah Baca Aia Tayo, taman bacaan yang saya inisiasi. Letaknya agak pelosok di Kampung Pasir, Nagari Kajai. Di kaki Gunung Talamau. Kawasan ini pusat gempa 2022. Jauh dari kota. Tapi Kang Gol A Gong mau datang juga. Ia malah mandi di Sungai Tayo yang jernih dan berbatu, di belakang rumah baca.
Inilah sosok Duta Baca yang ideal. Ia turun langsung ke lapangan. Ia tidak hanya tampil di panggung resmi. Ia rela merogoh kocek sendiri. Ia tak takut datang ke desa yang tak dikenal peta. Saya salut. Saya kagum. Kiprahnya akan tercatat dalam sejarah perjalanan Duta Baca Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan Duta Baca di daerah?
Mereka harus meniru Gol A Gong. Jangan sekadar memakai selempang dan hadir saat acara formal. Jangan hanya mendampingi dinas saat pengguntingan pita. Harus berani turun ke lapangan. Harus mau berinisiatif. Bahkan jika perlu, di luar anggaran yang disediakan.
Masalahnya, anggaran untuk Duta Baca di daerah memang kecil—bahkan hampir tidak ada. Sumber pendanaan lain pun sering minim. Biasanya, Duta Baca daerah dipilih dari pelajar, pelajar, atau guru.
Pernah, di sebuah provinsi, Duta Bacanya pelajar. Akhirnya, ia tak mampu menjalankan tugas. Dia tinggal di asrama. Banyak aturan. Tak leluasa keluar.
Duta Baca sebaiknya juga penulis, selain pegiat literasi Taman Bacaan. Jangan hanya membaca buku, tapi juga menulis buku. Ini penting. Duta Baca penulis bisa jadi teladan. Sebab membaca dan menulis adalah satu kesatuan.
Gol A Gong mencontohkan itu. Ia penulis buku. Ia juga pembaca buku. Rumahnya penuh buku. Buku adalah puncak kerja literasi. Banyak kegiatan baik, tapi tak terdokumentasi. Sayang sekali jika tidak ditulis.
Semoga di masa depan, Duta Baca Indonesia dan daerah semakin aktif. Mereka bisa meliteratkan masyarakat. Meski badai mengganggu gangguan digital, buku tetap menjadi pijakan utama. Dari buku, lahir gerakan literasi lainnya.
Sebagai ikon gerakan literasi, Duta Baca pasti punya cara. Mereka tahu bagaimana bertungkus lumus untuk bangsa. [] Penulis Penggiat Literasi dari Sumatera Barat
add a comment