Oleh Kin Sanubary
Bincang-bincang seputar buku diselenggarakan pada Sabtu 17 Februari 2024 di Galeri Seni MULA lndonesia, Cilandak Town Square Jakarta Selatan.
Buku Antropologi Fotografi
Melacak Jejak
Telinga Panjang karya
Ati Bachtiar menampilkan beberapa nara sumber yang berperan utama dalam penerbitan buku Melacak Jejak Telinga Panjang.
Mereka yaitu
Fotografer & Penulis Naskah:
Ati Bachtiar
Kurator:
Agatha Anne Bunanta
Book Designer:
Hagung Sihag
Editor Bahasa:
Madin Sumadiningrat
Social Media – Storytelling:
Ray Bachtiar Dradjat
dan Konsultan Kreatif:
Monica Ginting yang juga berperan sebagai moderator bedah buku.
Buku Antropologi Fotografi Melacak Jejak Telinga Panjang karya Ati Bachtiar dibidani oleh tenaga-tenaga profesional, mereka menyebutnya sebagai “The Dream Team”
Adapun buku Melacak Jejak Telinga Panjang mempunyai spesifikasi sebagai berikut :
Format Buku: 21 x 24 cm, Tebal 232 Halaman.
Cetak Offset Fullcolor, Soft Cover, kertas Acid-free,
Harga: Rp. 700.000,00
Dalam acara Bincang Buku fotografi dan bedah buku ini dihadiri sekitar 70 orang dari berbagai kalangan terutama dari para pelaku dan pemerhati fotografi, antropolog, sejarahwan, pendidik dan mahasiswa. Tampak hadir jurnalis foto senior Don Hasman, fotografer senior Firman Ichsan, antropolog Mulyawan Karim dan para jurnalis foto lainnya.
Acara bedah buku antropologi fotografi karya Ati Bachtiar dipandu oleh Monica Ginting tersebut terasa hidup dan aspiratif karena menghadirkan beberapa pembicara yang terlibat dalam penggarapan kreatif buku etnografi tersebut.
Agatha Anne Bunanta
Editor Visual
“Melacak Jejak Telinga Panjang”, bagaikan menembus lorong waktu berkabut tebal yang energi mistisnya terasa di bentangan karst pedalaman Kalimantan Timur untuk bisa sampai di perairan Mahakam dan bertemu pemegang tradisi telinga panjang yang telah dimulai sejak berabad silam.
Kedekatan Ati Bachtiar dengan nenek telinga panjang bukanlah suatu kebetulan belaka. Ati menangkap pesan tak bersuara dari sebuah patung menangis bertelinga panjang, warisan leluhur Dayak yang telah habis dimakan jaman. Ati telah terhisap ke lorong waktu sang patung. Ati seakan menapaki satu tempat ke tempat lainnya, tinggal di berbagai kampung Dayak sambil berteriak dalam hatinya: “Janganlah kau pergi sebelum aku datang ”
Semesta telah menugaskannya untuk meneruskan jiwa para melaluif panjang melalui seni dan tulisan yang dikemasnya menjadi tiga buku dokumentasi perjalanan.
Ati Bachtiar
Pemotret dan Penulis:
Ati menuturkan tahun 2014 bertemu dengan
Patung Menangis
Di sebuah kampung Dayak di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, di halaman depan tiang-tiang pancang Lamin Adat berdiri sebuah patung setinggi lutut di antara rerumputan liar.
Patung yang terbuat dari kayu terukir menyerupai seorang wanita bertelinga panjang hampir menyentuh bahu. Dari lubuk matanya air seperti mengalir melintasi pipinya. Air matanya berwarna merah darah. Patung itu menatapku seolah menyampaikan sebuah pesan. Pesan yang belum kupahami, tetapi meresap ke memori benakku.
Ati Bachtiar pertama kali bertemu dengan wanita bertelinga panjang bernama Uweq Pariyaq yang menjadi ikon kawasan wisata di Desa Sungai Bawang 30 menit dari Desa Budaya Sungai Pampang. Telinganya panjang digantungi puluhan anting-anting berwarna emas sebagai identitas orang Dayak.
Selain memiliki lapak penjualan souvenir, Periyaq juga menerima jasa foto bersama yang berbayar saat itu Rp. 50.000 per-jepret.
Walau pun saya membawa kamera dan ingin ikut memotret, tapi saya harus berhitung pengeluaran karena tidak mungkin mendapatkan foto yang baik hanya dengan satu atau dua kali pemotretan.
Karena uang saku terbatas akhirnya saya mencoba mencuri foto nenek Periyaq menggunakan HP dari balik barang dagangannya. Saya senang bisa mendapatkan satu foto yang diambil secara curi-curi. Namun apa yang terjadi ? Saat balik ke Jakarta, menempuh 3 jam perjalanan darat dari Samarinda, sebelum terbang ke Jakarta dari Bandara Sepinggan saya baru tersadar bahwa HP yang berisi foto nenek Periyaq telah hilang. Mungkin itu “tulah” dari mencuri pemotretan!
Tahun 2015
Ati Bachtiar sakit parah dan bernazar
Pada bulan April 2015 saya mengalami sakit parah dan divonis kanker rahim stadium 2A. Saya memutuskan untuk mengikuti petunjuk dokter untuk operasi dengan segala konsekuensinya. Di antara proses pengobatan dan perawatan saya sempat bernazar di depan suami saya, apabila saya sembuh nanti saya akan melakukan pendokumentasian Telinga Panjang. Suaminya yaitu Ray Bachtiar Dradjat seorang fotografer senior menyetujuinya.
Menjalani masa penyembuhan tentu bukan perkara mudah. Tentunya menguji kesabaran karena harus terbaring terkabar sekian lama sambil menahan rasa sakit…
Saat itulah tetiba bayangan patung menangis datang menghampiri. Tiada kata yang terucap. Hanya sebuah pesan terpancar dari frekuensi yang tak terlihat.
Kemudian rasa sakit perlahan mulai memudar seiring dengan rencana perjalanan yang saya targetkan untuk bertemu para pewaris Budaya Telinga Panjang di Pulau Kalimantan. Tekad semakin membulat, meski tak tahu harus mencari di mana mereka berada.
Ati Bachtiar berhasil mewujudkan impiannya dan berhasil mengabadikan lengkap pelaku Telinga Panjang Suku Dayak dari pedalaman Kalimantan dalam buku Antropologi Fotografi “Melacak Jejak Telinga Panjang”
