
Oleh: Ridhazia
URUSAN haji di Indonesia sudah 74 tahun ditangani Kementerian Agama. Dimulai tahun 1946 berakhir tahun 2025.
Selanjutnya tahun 2026 semua urusan ibadah ke Tanah Suci dialihkan kepada Menteri Haji dan Umroh,kementerian baru yang fokus pada pelayanan haji dan umroh.
Kementerian Agama mengurus pemberangkatan dan pemulangan haji setelah sejak terbentuk Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) di Kementerian Agama.
Jauh sebelum melembaga pada kementrian agama, urusan haji ditangani Panitia Perbaikan Haji Indonesia (PPHI). Lembaga ini diakui pemerintah yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI).
Dikutip dari Arsip Nasional Republik Indonesia pada 10 Juli 1950 untuk pertama kalinya pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji menggunakan kapal laut.
Kapal haji yang bersejarah itu bernama Tarakan. Berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta membawa sekitar 10.000 calon jemaah haji Indonesia.
Era Belanda dan Jepang
Selama ratusan tahun ibadah haji sepenuhnya urusan pribadi. Berangkat dan pulang hanya diatur oleh
Ordonansi Gubernur Jenderal Belanda.
Belanda dengan menempatkan konsul di Jeddah untuk memantau aktivitas jemaah dari Hindia Belanda.
Aturan pemerintah kolonial ini sepenuhnya untuk membatasi, bukan melayani. Bahkan dikaitkan dengan berkembanganya ide-ide Pan-Islamisme.
Embrio pemberontakan terhadap kolonialisme oleh tokoh-tokoh keagamaan yang kembali dari Mekkah.
Malah gelar haji pun diterapkan sejak 1903 untuk memudahkan pengawasan terhadap jemaah yang kembali. Pemberian gelar ini untuk mengidentifikasi beberapa tokoh agama kaitan dengan gelagat kegiatan politik anti Belanda.
Sedangkan pada era Jepang berkuasa di Nusantara, tidak ada satupun umat Islam dari Indonwsia yang diizinkan berangkat ke Tanah Suci dengan dalih perang dunia.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa barat.





