Kolom Sosial Politik

Bangsa Pejuang Persia

113views

Oleh: Budi Setiawan

KONFLIK bersenjata antara Iran dan Israel dalam sepekan terakhir ini mengingatkan dunia bahwa bangsa Persia—yang kini bernama Iran—masih menyimpan naluri tempur yang tidak bisa diremehkan. Ketika ratusan drone dan rudal balistik Iran melintasi langit Irak dan Suriah menuju wilayah Israel, sebagian pengamat bertanya: dari mana datangnya kekuatan negeri yang selama puluhan tahun diembargo ini?

Jawabannya ada dalam sejarah. Iran bukan sekadar negara Islam Syiah. Ia adalah penerus sah dari sebuah peradaban besar yang sejak ribuan tahun lalu telah menjelma sebagai bangsa pejuang. Dari Cyrus Agung hingga Ayatollah Khamenei, warisan ketangguhan bangsa Persia tidak pernah betul-betul padam. Ia hanya berganti rupa: dari imperium penakluk menjadi republik yang membangun kekuatan militer melalui jalur kemandirian, strategi asimetris, dan keyakinan ideologis.

Di bawah kepemimpinan Cyrus the Great, Kekaisaran Achaemenid tumbuh menjadi imperium terbesar di dunia pada abad ke-6 SM. Penaklukan Media, Babilonia, Lydia, hingga India menunjukkan keunggulan Persia bukan semata pada kekuatan senjata, melainkan juga kemampuan strategi, logistik, dan pemerintahan. Ketika menghadapi perlawanan Yunani, Persia tidak serta-merta lenyap meski dikalahkan. Mereka tetap eksis, bangkit kembali melalui Kekaisaran Parthia, dan mencapai puncaknya di masa Sassanid.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa hanya sedikit bangsa yang mampu berperang melawan Romawi dan bertahan selama ratusan tahun. Persia adalah salah satunya. Bahkan Kaisar Romawi Valerian pernah ditawan oleh Raja Shapur I, sesuatu yang tak pernah dialami oleh pemimpin Romawi lainnya. Sebagaimana dicatat sejarawan Albert Hourani, bangsa Persia bukan hanya memiliki tradisi kekuasaan, tapi juga kemampuan bertahan yang luar biasa terhadap gelombang invasi dari Barat maupun Timur.

Ketika ditaklukkan pasukan Arab pada abad ke-7, Persia tidak kehilangan identitas. Justru mereka yang kemudian memberi warna penting dalam peradaban Islam: dari ilmu filsafat, pemerintahan, hingga budaya istana. Mereka memang kalah perang, tapi tidak pernah kalah sebagai bangsa.

Spirit itulah yang diwarisi Iran modern saat ini. Setelah Revolusi Islam 1979 menggulingkan Syah Pahlavi yang pro-Barat, Iran memilih jalan ideologis yang tegas: menolak dominasi asing dan membangun sistem pertahanan sendiri. Dalam Perang Iran-Irak (1980–1988), negeri itu nyaris hancur. Saddam Hussein, yang disokong Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Uni Soviet, melancarkan invasi penuh. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Iran bertahan selama delapan tahun, dan lahirlah generasi baru militer Iran yang fanatik, terorganisir, dan tahan banting.

Apa yang dilakukan Iran setelah perang itu tidak kalah menarik. Mereka sadar tak mungkin mengejar kekuatan konvensional ala NATO atau Israel. Maka, mereka membangun kekuatan di luar jalur mainstream: rudal balistik, drone, milisi luar negeri, serta kemampuan siber.

Saat ini, Iran memiliki lebih dari 3.000 unit drone serang dan pengintai, seperti Shahed-136, Mohajer-6, dan Ababil-5, yang digunakan dalam berbagai konflik regional dan bahkan dipasok ke sekutu seperti Rusia. Di bidang rudal, Iran mengembangkan Fateh-110, Zulfiqar, dan Kheibar Shekan dengan jangkauan antara 300 hingga 2.000 km. Mereka juga menguji rudal hipersonik Fattah, yang terbukti mampu menembus sistem pertahanan rudal modern Israel. Selain itu, Bavar-373, sistem pertahanan udara buatan dalam negeri, nyata-nyata mampu menjatuhkan tiga jet tempur dan drone siluman F-35 Israel yang diproduksi AS.

Malah, teknologi drone Iran kini dipakai Rusia dalam Perang Ukraina, sementara rudal buatan dalam negeri mereka bisa menjangkau seluruh kawasan Timur Tengah. Iran menjelma menjadi negara “mandiri militer” yang disegani sekaligus ditakuti. Laporan lembaga riset pertahanan IISS (2024) bahkan menyebut Iran sebagai “negara dengan portofolio rudal taktis dan strategis paling lengkap di dunia berkembang.”

Menurut Kenneth M. Pollack dalam The Persian Puzzle, Iran memandang pertahanan bukan sebagai urusan militer semata, tetapi kelangsungan sejarah. “Bagi elite Iran, bertahan hidup adalah bagian dari takdir geopolitik yang sudah diwarisi sejak zaman kuno,” tulisnya.

Di sinilah dunia perlu melihat Iran secara jernih. Ini bukan sekadar republik Islam dengan bumbu revolusi. Ini adalah “Persia dalam bentuk baru”, bangsa yang dalam dirinya mengalir memori perlawanan ribuan tahun. Meski saat ini tampil dalam simbol-simbol keagamaan dan jargon revolusioner, sesungguhnya yang sedang bicara adalah insting kekaisaran lama yang tak ingin ditaklukkan.

Dunia boleh mengutuk atau mengagumi langkah Iran. Namun satu hal yang tak bisa diingkari: Iran bertempur karena ia bangsa yang terbiasa bertempur. Ia tidak sempurna, sering keliru, bahkan represif terhadap bangsanya sendiri. Tapi dalam hal bertahan sebagai negara merdeka, bangsa Persia sudah membuktikan berkali-kali bahwa mereka bukan jenis bangsa yang mudah ditundukkan.*

  * Budi Setiawan, adalah pemerhati sosial politik, mantan jurnalis senior ibukota, dan alumnus FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Jawa Barat.

Leave a Response