
132views
Oleh Muhammad Subhan
Bangun ruang-ruang aman. Ruang tempat anak bisa berbuat salah dan diperbaiki.
Bukan dihukum. Bukan dihakimi. Tapi ditemani.
Banyak anak yang tampak “nakal”, ternyata punya kepekaan luar biasa. Tahu kapan ibunya sedih. Tahu kapan ayahnya stres. Tapi mereka belum tahu cara menolong. Jadi mereka resah. Lalu salah langkah.
SESUNGGUHNYA –tidak ada anak nakal. Yang ada adalah anak-anak yang belum dipahami. Belum dituntun. Belum didengar. Belum disayangi sebagaimana mestinya.
Kata “nakal” hanyalah label. Label yang ditempel buru-buru. Tanpa mau tahu. Tanpa ingin paham. Si anak memanjat pagar sekolah. Lalu orang dewasa bilang: “nakal.” Padahal mungkin dia bosan. Mungkin ada rasa ingin tahu. Atau mungkin dia cuma ingin dilihat.
Ada anak yang menggambar di dinding. Orang tua marah. Guru kecewa. Tetapi siapa tahu, itu ekspresi. Bukan pelanggaran. Bisa jadi, itu seni yang belum dimengerti.
Anak mencoret-coret bangku. Itu mungkin bukan vandalisme. Tapi panggilan jiwa yang ingin bicara. Namun, dunia dewasa hanya tahu cara menghukum. Bukan mendengarkan. Anak nakal bukan musuh. Mereka bukan duri dalam daging masyarakat. Mereka bukan kesalahan. Mereka adalah benih kreatif. Yang belum mendapatkan musim terbaiknya.
Kadang kita lupa. Anak belajar dari meniru. Kalau rumah penuh bentakan, anak pun membentak. Kalau rumah penuh diam, anak pun mendiamkan dunia. Orang tua adalah cermin. Jika cermin itu retak, wajah anak akan ikut buram. Jika rumah panas, hati anak akan ikut terbakar. Banyak anak yang “nakal” adalah korban. Korban perceraian. Korban pengabaian. Korban kekerasan. Korban televisi, gawai, dan konten tanpa pengawasan.
Tapi mereka tidak meminta semua itu. Mereka hanya lahir. Dan tumbuh. Dalam dunia yang tidak mereka pilih.
Mengapa kita tidak bertanya dulu sebelum menghakimi? Mengapa tidak menyapa, sebelum menghardik? Mengapa tidak mendekap, sebelum menampar?
Mereka hanya butuh tempat. Bukan penjara. Bukan barak militer. Bukan tempat pengasingan.
Barak militer bukan tempat anak-anak. Itu tempat latihan perang. Anak-anak tak seharusnya dilatih untuk taat buta. Tapi dididik untuk berpikir. Untuk merasa. Untuk mencinta.
Anak “nakal” seharusnya dibawa ke taman bacaan. Ke perpustakaan. Ke sanggar seni. Ke lapangan bermain. Ke panggung teater. Ke ruang-ruang dialog dan ekspresi. Diberi kuas dan cat. Bukan borgol. Diberi panggung dan pena. Bukan hukuman.
bukan masalah. Mereka adalah pesan. Bahwa dunia ini perlu berubah. Bahwa pendidikan harus lebih lembut. Lebih dekat. Lebih memahami. Restoratif, bukan represif. Mendekat, bukan menjauh. Mengobati luka, bukan menambahnya. Banyak anak yang “nakal” hanya ingin satu hal: Diperhatikan! Mereka berteriak, dengan caranya sendiri. Kadang dengan melempar batu. Kadang dengan memukul temannya. Kadang dengan melarikan diri dari kelas.
Mereka tak punya kata-kata. Jadi mereka bicara lewat perilaku.
Yang mereka butuhkan adalah pelukan. Bukan bentakan. Yang mereka butuhkan adalah ruang. Bukan jeruji. Di sanalah peran kita. Orang tua. Guru. Masyarakat. Memberi mereka tempat untuk tumbuh. Untuk menemukan makna. Untuk menyalurkan energi mereka yang melimpah. Arahkan mereka ke seni. Ke musik. Ke tari. Ke puisi. Ke olahraga. Ke kegiatan sosial. Ke kegiatan keagamaan. Ke dunia yang bisa menampung gelora mereka.
Bangun ruang-ruang aman. Ruang tempat anak bisa berbuat salah dan diperbaiki. Bukan dihukum. Bukan dihakimi. Tapi ditemani.
Banyak anak yang tampak “nakal”, ternyata punya kepekaan luar biasa. Tahu kapan ibunya sedih. Tahu kapan ayahnya stres. Tapi mereka belum tahu cara menolong. Jadi mereka resah. Lalu salah langkah.
Jangan cepat menyimpulkan. Jangan tergesa melabeli. Anak bukan data. Bukan grafik. Mereka adalah jiwa. Yang sedang tumbuh. Dan butuh dituntun.
Jangan remehkan waktu bersama anak. Lima menit mendengar ceritanya. Bisa membuatnya tenang seharian. Sepuluh menit memeluknya. Bisa membuatnya percaya bahwa dunia masih aman.
Jika kita biarkan mereka mencari pelarian, mereka akan temukan dunia yang kelam. Dunia yang tak peduli. Dan dunia itu akan membentuk mereka. Dengan luka. Tapi jika kita hadir, sekadar hadir, itu sudah awal dari penyembuhan.
Anak bukanlah produk. Bukan proyek yang harus sempurna. Mereka manusia. Dengan takaran cinta yang tak bisa dibeli.
Setiap anak berhak tumbuh dalam kasih sayang. Dalam bimbingan yang bijak. Dalam pelukan yang hangat. Dalam ruang yang memberi mereka makna. Jika hari ini ada anak yang disebut “nakal”, mungkin itu karena kita abai. Kita tak cukup mendengar. Tak cukup memahami. Tak cukup sabar.
Tapi belum terlambat. Kita bisa mulai hari ini. Dengan satu senyum. Satu waktu bersama. Satu telinga yang bersedia mendengar.
Karena sesungguhnya, anak “nakal” hanyalah anak yang sedang mencari jalan. Dan siapa tahu, di balik kenakalannya, ada pemimpin masa depan. Ada seniman besar. Ada guru penuh cinta. Ada penyair yang menyembuhkan dunia.
Mereka bukan beban. Mereka adalah kesempatan. Kesempatan bagi kita untuk menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Dan, jika hari ini kita merenung, biarlah satu pertanyaan tinggal dalam hati: “Sudahkah kita benar-benar hadir dalam hidup anak-anak kita? Ataukah kita hanya mementingkan hidup kita sendiri?” Penulis Penggiat Literasi dari Sumatra Barat
add a comment