Kolom Sosial Politik

Perpol dan Kuasa Aparat

22views

 

Oleh: Budi Setiawan

PERATURAN Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 akhirnya dikeluarkan Kapolri. Kita bisa mencermati peraturan ini tidak lahir di ruang hampa. Ia muncul tepat setelah Mahkamah Konstitusi menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan di luar institusinya tanpa mengundurkan diri.

Polri berdalih Perpol 10/2025 hanya mengatur “penugasan” administratif, bukan “jabatan struktural”. Secara hukum formal, argumen ini terdengar rapi. Namun demokrasi tidak hidup dari terminologi, melainkan dari praktik kekuasaan. Pertanyaan kuncinya bukan istilah apa yang dipakai, melainkan fungsi apa yang dijalankan oleh aparat di ruang sipil. Dalam konteks itu, Perpol ini sulit dibaca sekadar sebagai aturan administratif. Ia lebih tepat dipahami sebagai sinyal politik-institusional tentang bagaimana kekuasaan aparat memaknai batas kendali sipil dalam negara demokratis.

Dalam kerangka civil–security relations, relasi negara yang sehat mensyaratkan supremasi sipil atas aparat keamanan. Aparat, betapapun profesionalnya, harus tunduk pada kontrol politik yang sah. Ketika sebuah institusi keamanan merespons putusan konstitusi dengan aturan internal yang membuka ruang tafsir longgar, maka problemnya bukan lagi teknis hukum, melainkan keseimbangan kekuasaan antar-lembaga negara.

Masalah Perpol 10/2025 terletak pada ruang abu-abu yang diciptakannya. Jika anggota Polri aktif ditempatkan di kementerian atau lembaga dan menjalankan kewenangan strategis—mengelola anggaran, mengarahkan kebijakan, atau mengawasi birokrasi sipil—maka secara substantif ia sedang menjalankan kekuasaan struktural. Dalam politik, kekuasaan tidak bekerja melalui nomenklatur, tetapi melalui fungsi nyata.

Di sinilah Perpol ini menjadi problematis. Ia tidak membangkang konstitusi secara terbuka, tetapi melakukan apa yang bisa disebut sebagai institutional pushback: penyesuaian internal untuk mempertahankan ruang pengaruh. Putusan konstitusi mungkin tetap dihormati secara formal, tetapi dilemahkan secara fungsional. Kalimat ini penting dicatat, karena di situlah bahaya sebenarnya bersembunyi.

Di sisi lain, sikap DPR yang cenderung memaklumi Perpol 10/2025 justru memperparah keadaan. Ketika fungsi pengawasan tidak dijalankan secara tegas, putusan MK berisiko direduksi menjadi norma simbolik—disebut dalam pidato, dinegosiasikan dalam praktik. Preseden ini berbahaya, sebab mengirim pesan bahwa kepatuhan terhadap konstitusi bersifat kondisional, tergantung kepentingan institusi yang kuat.

Dalam jangka panjang, kecenderungan ini dapat mengikis profesionalisme birokrasi sipil dan mendorong lahirnya negara yang dikelola oleh aparat. Ini bukan otoritarianisme klasik dengan wajah represif, melainkan regresi demokrasi yang bekerja secara halus, administratif, dan nyaris tak terasa.

Argumen bahwa negara membutuhkan keahlian Polri juga patut diuji secara jujur. Karena keahlian dapat dihadirkan melalui asistensi institusional atau mekanisme profesional sipil. Ketika yang dipilih justru penempatan personel aktif, persoalannya bukan lagi kebutuhan teknis, melainkan preferensi kekuasaan.

Perpol 10/2025 seharusnya dibaca sebagai alarm. Jika batas kendali sipil terus dinegosiasikan, maka reformasi kepolisian berisiko berhenti sebagai slogan, sementara itu kuasa aparat justru menemukan jalannya sendiri.*

*Budi Setiawan, pemerhati masalah sosial politik, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat.

Leave a Response