Ratri Rizki Kusumalestari Sandang Gelar Doktor Ilmu Komunikasi Unisba, Kupas Perilaku Media Gen Z dalam Menghadapi Hoaks

METRO BANDUNG, bandungpos.id – Universitas Islam Bandung (Unisba) kembali menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan ilmu komunikasi berlandaskan nilai Islam dan kemanusiaan. Melalui sidang terbuka promosi doktor pada Selasa (4/11) di Auditorium Lantai 8 Gedung Dekanat Unisba, Jalan Tamansari 24–26 Bandung, dosen sekaligus peneliti Ratri Rizki Kusumalestari resmi meraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi. Sidang dipimpin langsung oleh Rektor Unisba, Prof. Ir. A. Harits Nu’man, M.T., Ph.D., IPU., ASEAN Eng.
Dalam kesempatan itu, Ratri mempertahankan disertasinya yang bertajuk “Budaya Bermedia Gen Z Menghadapi Hoaks (Studi Etnografi Khalayak pada Mahasiswa yang Diterpa Hoaks di Media Sosial dan Aplikasi Obrolan)” di hadapan tim promotor yang diketuai Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, Dra., M.Si., bersama Dr. Ferry Darmawan, S.Sos., M.Ds., dan Prof. Dr. Septiawan Santana Kurnia, S.Sos., M.Si.
Pada sesi pemaparan yang mendapat perhatian besar audiens, Ratri mengurai bagaimana Generasi Z yang tumbuh dalam ekosistem digital serba cepat kerap berada di garis depan arus informasi, termasuk informasi palsu yang bisa menyesatkan. Ia memulai riset ini dari kegelisahan akademik atas meningkatnya paparan hoaks terhadap mahasiswa, yang sering ditempatkan sebagai korban pasif dalam wacana literasi media.
“Generasi Z punya kemampuan besar untuk menolak hoaks. Hanya saja, potensi itu sering tersembunyi karena publik lebih sering melihat mereka sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi, bukan khalayak yang kritis dan aktif,” ujar Ratri dalam sesi pembelaannya.
Melalui metode etnografi khalayak kritis, ia menelusuri secara mendalam bagaimana mahasiswa Gen Z menggunakan platform digital seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), dan WhatsApp. Penelitiannya memperhatikan cara mereka menafsirkan, merespons, dan menyaring informasi, terutama ketika berhadapan dengan pesan yang berpotensi menyesatkan.
Hasil riset tersebut melahirkan model konseptual “Budaya Bermedia Gen Z Menghadapi Hoaks”. Ratri menemukan lima posisi pembacaan terhadap hoaks: dominan-hegemonik, negosiasi, oposisi, apatis, dan strict filtering. Dua posisi terakhir merupakan temuan baru yang memperluas teori encoding/decoding Stuart Hall. Posisi apatis muncul akibat kelelahan informasi, sementara strict filtering menggambarkan kelompok Gen Z yang semakin kritis, menggunakan alat verifikasi dan komunitas pengecek fakta untuk menangkal hoaks.
Menurut Ratri, pola tersebut menunjukkan dinamika psikologis dan sosial khas era algoritma digital. Ia juga menegaskan bahwa praktik bermedia Gen Z tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam pusaran kekuatan algoritma, viralitas, dan ekonomi digital. Di situ, Gen Z menjalankan peran ganda: sebagai pengguna yang berdaya sekaligus rentan terhadap manipulasi informasi.
Berpijak pada Nilai Islam
Selain menyoroti aspek teknologi dan perilaku media, penelitian ini menegaskan pentingnya nilai Islam dalam menghadapi disinformasi. Ratri mengidentifikasi prinsip tabayyun, qaulan sadida, dan amar ma’ruf nahi munkar sebagai fondasi etika bermedia. Ia menafsirkan ajaran Al-Qur’an sebagai kerangka komunikasi yang relevan bagi etika digital modern.
“Tabayyun bukan hanya ajaran agama, tapi bentuk literasi kritis yang mengajak masyarakat berhati-hati dalam menerima dan berbagi informasi,” jelasnya.
Dari kajian ini muncul konsep baru bernama literasi hoaks, yaitu kemampuan kritis menilai sumber, memahami konteks, dan bertanggung jawab secara sosial atas informasi yang dikonsumsi maupun dibagikan. Literasi dipandang bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga praktik sosial dan sikap ideologis.
Temuan tersebut membuka peluang penerapan luas. Dunia pendidikan dapat mengadopsinya untuk penguatan kurikulum literasi digital berbasis etika, pemerintah dapat mengembangkan strategi anti-hoaks berpusat pada karakter generasi muda, dan masyarakat dapat memahami bahwa menjaga lingkungan informasi yang sehat adalah tanggung jawab bersama.
“Hoaks bukan sekadar masalah teknologi, melainkan isu budaya dan kesadaran. Melawannya berarti membangun masyarakat yang kritis, beretika, dan peduli,” tegasnya.
Sidang promosi doktor Ratri Rizki Kusumalestari menjadi tonggak penting bagi Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba. Melalui riset ini, Fikom Unisba kembali menegaskan komitmennya untuk melahirkan penelitian bermutu tinggi di bidang media, budaya, dan komunikasi digital, sekaligus menanamkan cara berpikir kritis dan berlandaskan nilai Islam. (sani/bnn)





