
Oleh: Ridhazia
POLISI menghentikan “tot-tot” suara sirene pada setiap pengawalan pejabat negeri ini. Demikian pula lampu rotator yang menyilaukan pada kendaraan patroli pengawal (patwal) dihentikan.
Penghentian sementara ini sebagai respons polisi atas protes publik gerakan anti-sirene dan rotator yang ramai disuarakan di media sosial.
Publik menganggap, sirene dan rotator oleh polisi kerap disalahgunakan. Sejumlah tokoh publik seperti pengusaha, selebritis, keluarga pejabat yang berkendaraan mewah kerap melanggar aturan.
Mereka menyewa dan mengeluarkan biaya pengganti bensin dan uang makan polisi untuk mempercepat perjalanan. Meskipun pengawalan polisi pada dasarnya gratis.
Arogansi
Publik yang protes menganggap suara dan kerlap kerlip cahaya lampu biru dari rotator motor dan mobil polisi di tengah kemacetan lalulintas sebagai arogansi pejabat.
Bahkan cenderung merendahkan dan meremehkan penguna jalan. Rakyat negeri ini meminggirkan kendaraan yang terjebak dalam kemacetan hanya untuk memberi kesempatan mobil pejabat yang dikawal mendahului melaju dalam kecepatan tinggi.
Kini keistimewaan pengawalan oleh polisi yang berlebihan, bahkan dirasakan publik sebagai kesombongan, angkuh, dan congkak kini dievaluasi dan dihilangkan untuk menghilangkan perasaan superioritas.
Hak Istimewa
Perlu diketahui pengawal khusus dengan suara sirene dan cahaya biru itu oleh polisi sebagai hak istimewa para pejabat yang diatur UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), khususnya Pasal 59 ayat (5).
Dengan dicabutnya pengawalan oleh polisi yang menggunakan sirene dan rotator, cahaya lampu merah dan sirene untuk kendaraan seperti pemadam kebakaran dan ambulans masih diberlakukan.
Demikian juga lampu kuning tanpa sirene digunakan untuk kendaraan patroli, perawatan, dan derek tidak akan dilarang. Dan, publik harus memahami kekhususan ini.*
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.