
Oleh: Budi Setiawan
SEBUAH kenyataan getir kembali menyayat luka kemanusiaan di Gaza. Di tengah krisis pangan dan blokade brutal, warga menemukan pil-pil mencurigakan terselip dalam kantong tepung bantuan kemanusiaan yang dikirim Amerika Serikat melalui jalur distribusi yang dikontrol militer Israel.
Setelah diuji, pil tersebut adalah oxycodone—opioid sintetik berkategori narkotika golongan tinggi, berpotensi memicu kecanduan, gangguan saraf, bahkan kematian.
Temuan ini pertama kali diungkap dalam laporan sejumlah media internasional pada 28 Juni 2025, mulai dari Middle East Monitor dan Telesur English. Pemerintah Gaza menyebut kejadian ini sebagai “genosida farmasi”, dan publik pun bertanya: ini bantuan atau sabotase?
Yang membuat kasus ini lebih mengerikan, bukan sekadar fakta adanya pil beracun dalam karung tepung, tapi dugaan kuat bahwa oxycodone telah dicampur langsung ke dalam tepung—siap dikonsumsi tanpa disadari oleh ribuan warga yang kelaparan, termasuk anak-anak dan lansia. Bantuan pangan yang seharusnya menyelamatkan, malah menjadi alat penghancur dari dalam.
Jika benar, ini bukan insiden biasa, melainkan bentuk bioterorisme terselubung, bagian dari taktik sistematis untuk menghancurkan ketahanan rakyat Gaza. Strategi ini terlalu jahat untuk dianggap sebagai kesalahan logistik. Oxycodone bukan kutu beras yang bisa nyasar masuk gudang. Ia adalah produk farmasi ketat, hanya tersedia melalui izin dan resep—maka keberadaannya di tangan sipil Palestina jelas bukan “kebetulan.”
Ironisnya, hingga kini WHO belum bersuara tegas. Padahal, dalam situasi krisis semacam ini, kehadiran WHO sebagai otoritas kesehatan global amat dibutuhkan. Gaza telah menghadapi kekurangan lebih dari 60% pasokan medis esensial (data WHO, Juni 2024), dan ketika bantuan pangan pun ikut dicemari, maka skala ancamannya menjadi total.
Praktek Nazi
Praktik manipulasi pangan dalam konflik bukan hal baru. Selama Perang Dunia II, Nazi menyusupkan zat kimia dalam makanan tahanan kamp konsentrasi untuk eksperimen biologis. Jepang menyebarkan methamphetamine dalam wilayah musuh sebagai bagian dari perang psikis. Kini, strategi itu hidup kembali dalam bentuk lebih licik—berlabel kemanusiaan dan bertanda tangan negara adidaya.
Lebih dari sekadar tragedi, peristiwa ini adalah residu barbarisme modern yang mengulang kebrutalan perang klasik—namun dengan wajah “bantuan.” Jika dulu peluru menghancurkan tubuh, kini tepung “beracun” menghancurkan dari dalam. Perlahan. Sistematis. Tanpa suara.
Tindakan ini jelas melanggar Konvensi Jenewa 1949, yang mengharamkan segala bentuk manipulasi bantuan untuk merugikan sipil. Maka, harus dikatakan dengan lantang: ini adalah kejahatan perang. Dan pelakunya, tanpa ragu, adalah Amerika Serikat dan Israel.
Jika dunia masih bungkam, sejarah akan mencatatnya bukan hanya sebagai kegagalan diplomasi, tetapi sebagai kompromi menjijikkan terhadap nurani kemanusiaan. Gaza bukan sekadar korban blokade, tapi medan eksperimen kelam oleh negara yang mengaku penjaga perdamaian.*
* Budi Setiawan, pemerhati sosial politik, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, salah satu inisiator Forum on Islamic World Studies (FIWS) di Bandung (1994-1995).