Kolom Sosial Politik

Apa Itu SINKOP

245views

 

Oleh Ridhazia

Istilah medis untuk pingsan disebut sinkop. Yakni penurunan kesadaran sementara aliran darah ke otak melambat. Rerata durasi sinkop selama 6-8 detik. Tapi bisa lebih cepat atau lebih lama.

Bahkan seorang yang sinkop akan mengalami amnesia, yakni ketidakmampuan untuk mengingat peristiwa untuk jangka waktu tertentu. Tidak punya kontrol gerakan, dan hilangnya respon.

Angki Bangun!

Dan, itu saya alami sendiri. Begitu siuman setelah beberapa detik aksiden, saya tak mengetahui tempat, waktu dan apa yang terjadi saat itu hingga terbaring di UGD.

Padahal beberapa detik yang lewat saya masih bermain dengan cucu terkecil (7 tahun) di pinggir kolam renang. Semua memori pertemuan kakek-cucu itu hilang.

“Angki, angki bangun!” yang diteriakkan cucu cikal (12 tahun) ketika saya terbaring tak berdaya — sebagaimana diceritakan istri dan anak saya — sama sekali tak terdengar.

Pun, ketika dilakukan pertolongan pertama. Semua tak dirasakan. Padahal saat itu dilakukan langkah standar yakni cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dengan cara compression yakni menekan dinding dada hingga breathing yaitu pemberian bantuan napas buatan.

CT kepala!

CT (computer tomography)otak adalah prosedur pencitraan diagnostik yang menggunakan pengukuran sinar-X menjadi alternatif khusus untuk saya ikuti setiba di RS.

CT menjadi teknologi pilihan dokter untuk menghasilkan gambar horizontal atau aksial (sering disebut irisan) otak sehingga memberikan lebih banyak data terkait cedera dan/atau penyakit otak.

Inilah kali pertama teknologi ilmu kedokteran CT memindai batok kepala saya. Padahal alat penting ini sudah ada sejak era-1970 untuk pencitraan medis otak.

Alat ini untuk mengetahui ada tidak cedera otak, jaringan dan pembuluh darah di kepala, tengkorak, hingga kulit kepala yang terjadi karena benturan.

Alhamdulillah

Alhamdulillah, melalui CT ini barulah diketahui kalau batok otak saya masih tahan benturan. Tidak memerlukan tindakan operasi.

Kata dokter, sedikit saja memar di permukaan kulit kepala. Ia tetap khawatir. Saya harus istirahat di RS untuk diobservasi, diobati dan diinfus semestinya.

Menulis itu terapi!

Ternyata kebiasaan menulis melengkapi pengobatan. Bahkan bisa menjadi terapi otak untuk tetap sadar, tetap ingat dan mengingat.

Tentu saja, doa dan atensi semua kawan di media sosial sangat membantu saya tegar. Tetap segar! *

 * Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati Kota Bandung, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Leave a Response