
Oleh: Ridhazia
DUKUNGAN dan pengakuan negara-negara Barat antara lain Inggris, Australia, Kanada, Portugal, dan Prancis masih belum cukup mengubah perilaku zionis Israel membobardir Palestina.
Seperti diberitakan, dukungan negara Barat yang menggenapkan 142 negara di dunia memberi pengakuannya untuk negara Palestina dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York itu ditolak Amerika Serikat.
Seruan solusi dua negara yang kembali ditegaskan dalam Deklarasi New York dalam konferensi bulan Juli 2025 yang kemudian diadopsi Majelis Umum PBB pada 12 September 2025 dengan mendapat suara mayoritas.
Ditolak Washington
Tapi sekuat apapun dan seideal gagasan, pemerintahan Donald Trump yang menjadi “bapak angkat” Israel berargumen bahwa resolusi itu diserupakan “hadiah” bagi Hamas, alih-alih bagi pemerintahan Palestina keseluruhan.
Sesumbar Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio yang juga menegaskan bahwa tidak ada negara Palestina yang dapat berdiri tanpa persetujuan “Zionis Israel”.
Perlu diketahui, Amerika Serikat telah memveto puluhan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang kritis terhadap Israel, termasuk sedikitnya 53 resolusi sejak 1972.
Mengurai benang kusut
Solusi membentuk negara Palestina yang hidup berdampingan dengan Israel di wilayah Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur itu rumit. Ibaratnya mengurai benang kusut.
Realisasinya bakal akan selalu terhambat oleh fakta semakin luas permukiman Yahudi di Tepi Barat, serta perbedaan sikap terhadap perbatasan, dan status Yerusalem yang yang beririsan dengan sejarah keyakinan agama.
Kerumitan itu berakar dari sejarah konflik yang dimulai era mandat Inggris di Palestina yang dimulai ketika orang Yahudi bermigrasi untuk mencari tanah air.
Pada 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah menjadi negara Arab dan Yahudi. Israel menerima, tetapi Arab menolak. Disitulah mulai perang dua negara bertetangga.
Setelah Israel berdiri pada 1948 pecah perang pecah Israel – Arab. Sejumlah wilayah Palestina diduduki Israel hingga sekarang. Meski Palestina sudah menyatakan kemerdekaan pada 15 Nopember 1988, bukan menjadi bab penutup konflik terlama sedunia itu. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politiik, bermukim di Bandung, Jawa Barat.