
Ditulis Oleh: H. Iding Mashudi
Tanggal: 16 Desember 2025
BANDUNGPOS ID.
Menggeser karya orang lain lalu mengklaimnya sebagai hasil pemikiran sendiri merupakan bentuk penipuan intelektual yang tidak dapat dibenarkan. Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan pengkhianatan terhadap nilai kejujuran dan integritas yang seharusnya menjadi dasar setiap proses kreatif.
Plagiarisme mencerminkan kemiskinan gagasan dan kemalasan berpikir. Ketika seseorang memilih mencuri ide, tulisan, atau konsep orang lain, ia sesungguhnya sedang mengakui ketidakmampuannya untuk berkarya secara mandiri dan bertanggung jawab.
Yang lebih memprihatinkan, praktik ini kerap dilakukan secara sadar dan sistematis. Karya orang lain digeser, diubah secukupnya, lalu dipublikasikan seolah-olah lahir dari proses kreatif pribadi, tanpa rasa bersalah dan tanpa penghormatan terhadap pencipta aslinya.
Dampak plagiarisme tidak hanya merugikan korban langsung, tetapi juga mencederai kepercayaan publik. Masyarakat disuguhi karya yang dibangun di atas kebohongan, sementara nilai keaslian dan intelektualitas perlahan terkikis.
Mengklaim karya orang lain sebagai milik sendiri adalah perampasan hak cipta dan hak moral. Dalam banyak kasus, perbuatan ini dapat berujung pada sanksi tegas, mulai dari pencabutan kredibilitas, sanksi profesional, hingga proses hukum pidana dan perdata.
Di era digital, alasan “tidak sengaja” semakin sulit diterima. Teknologi justru memudahkan penelusuran sumber asli, sehingga setiap upaya menutupi plagiarisme pada akhirnya hanya mempermalukan pelaku di ruang publik yang luas dan permanen.
Sudah saatnya budaya pencurian intelektual dilawan secara terbuka. Kejujuran dalam berkarya, keberanian mengakui sumber, dan kesediaan menghasilkan karya sendiri—meski sederhana—jauh lebih bermartabat daripada meraih pengakuan melalui kebohongan dan perampasan karya orang lain.





