Oleh Ridhazia
Tradisi POE LILIKURAN — yang juga populer disebut tradisi MAWAKEUN — di Tanah Sunda menjadi kenangan tersendiri. Terutama ketika moment berkirim dan bertukar makanan rantangan di antara keluarga dan tetangga.
Seingat saya, makanan rantangan itu makanan yang sudah di masak di antaranya nasi, sayur cabe dan sambel goreng kentang, lauk pauk ( ikan, daging, telor). Ditambah tempe dan tahu.
Semua makanan itu ditata di dalam rantang susun. Biasanya paling bawah berisi nasi, kedua berisi lauk pauk, ketiga berisi sayur dan keempat tahu dan tempe.
Ada juga paket khusus ayam bakakak yang dikirimkan ke orang yang dituakan sebagaimana tradisi Mawakeun.
Terkubur Zaman
Tradisi Sunda kini sudah terkubur zaman. Sudah tidak ada pelanjutnya. Anak cucu saya dan keturunannya sudah tidak lagi mengenal apa yang dialami nenek moyangnya.
Atau mungkin tradisi ini sudah berubah wujud menjadi varian lain terbarukan. Misalnya berkirim paket parsel makanan, atau mentransfer uang.
Resonansi Sosial
Tradisi baik ini yang disemangati menyambut malam Lailatul Qadar — pada tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan puasa — sesungguhnya bentuk resonansi sosial. Kesejatian hubungan batin yang tulus sejati dan dinamis diantara manusia.
Sebuah interaksi kausal sekaligus instrumental dari keterasingan diri dan teralienasi. Sebuah alternatif bagaimana kesejatian berkomunikasi dalam keterbatasan media komunikasi.
Secara fenomenologis, apa artinya serantang makanan. Tapi kemampuan untuk merasa pada gilirannya mengembangkan minat intrinsik yang mempengaruhi manusia bagaimana ia memilih media ketika berhubungan dengan dunia. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, Kota Bandung, jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.