Oleh Ridhazia
Adagium “access to justice” yang diartikan sebagai peluang atau kesempatan bagi semua orang dalam memperoleh keadilan (justice for all), ibarat mimpi di siang bolong.
Menuntut keadilan ternyata harus viral terlebih dahulu. Sebagaimana adagium yang belakangan semakin berkibar di ruang publik : “No Viral, No Justice”
Seolah-olah jika belum viral belum akan ada tindakan hukum. Diacuhkan tanpa sentuhan yang serius penegak hukum. Dilupakan seakan tidak terjadi apa-apa meski nasib manusia yang mencari keadilan di ujung kematian karena dipenjara.
Kasus kematian Vina dan Eki di Cirebon menjadi fakta, bagaimana kasus pidana itu bisa mangkrak hingga 8 tahun. Setelah viral di media sosial, kasus ini direka ulang.
Arogansi Penegak Hukum
Apabila ada para pencari keadilan (justicia belen) yang membanding-bandingkan proses penyelesaian antara kasus/perkara viral dengan tidak viral karena faktanya perkara keadilan baru mendapat perhatian jika sudah digadang-gadang menjadi viral.
Jika tidak menjadi perhatian publik, maka keadilan sulit untuk hadir. Rakyat kecil terpuruk dalam kearogansian penegak hukum negeri ini.
Jangan ditunda!
Padahal dalam ilmu hukum diajari adagium “justice delayed is justice denied” yang berarti menunda-nunda keadilan artinya sama dengan menolak keadilan itu sendiri.
Juga harus diingat kembali filosofi keadilan “ubi jus incertum, ibi jus nullum” yang berarti di mana tidak ada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum. *
* Ridhazia, dosen senior Fidkom UIN Sunan Gunung Djati, Kota Bandung,jurnalis dan kolumnis, pemerhati psikologi dan komunikasi sosial politik, bermukim di Vila Bumi Panyawangan, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.