
JAKARTA, BANDUNGPOS ID.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan kembali posisi dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) melalui sejumlah putusan penting yang dibacakan pada Kamis, 13 November 2025, dalam sidang pleno yang digelar di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi delapan hakim konstitusi lainnya. Salah satu poin utama adalah penolakan permohonan yang meminta agar jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) disetarakan dengan menteri. MK menilai penyetaraan tersebut berpotensi merusak tatanan ketatanegaraan dan mengikis independensi Polri sebagai alat negara.
Dalam pertimbangannya, MK menjelaskan bahwa menempatkan Kapolri sebagai pejabat setingkat menteri akan otomatis menjadikannya bagian dari kabinet. Kondisi tersebut dinilai berpotensi menarik Polri masuk ke dalam struktur politik pemerintahan, padahal UUD 1945 menegaskan bahwa Polri harus berdiri di luar arena politik dan menjalankan fungsi penegakan hukum secara independen. MK menekankan bahwa status Kapolri tidak boleh berubah menjadi jabatan politik dalam bentuk apa pun.
MK juga menolak permohonan yang meminta agar masa jabatan Kapolri disamakan dengan masa jabatan Presiden. Menurut MK, Kapolri adalah jabatan karier profesional yang tidak mengikuti siklus politik lima tahunan. Karena itu, Kapolri tidak otomatis berhenti ketika masa jabatan Presiden berakhir, dan kewenangan pengangkatan serta pemberhentiannya tetap berada pada Presiden berdasarkan kebutuhan organisasi dan evaluasi kinerja.
Dalam sidang yang sama, MK mengabulkan sebagian permohonan mengenai larangan rangkap jabatan bagi anggota Polri aktif di instansi sipil. MK menyatakan bahwa frasa yang memungkinkan penugasan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil berdasarkan keputusan Kapolri tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, setiap anggota Polri yang ingin menduduki jabatan sipil wajib mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu sebelum memasuki birokrasi sipil.
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, menegaskan bahwa putusan MK tersebut berlaku seketika setelah palu diketok. Menurutnya, seluruh anggota Polri aktif yang kini menjabat di posisi-posisi sipil otomatis kehilangan dasar hukum untuk tetap berada di jabatan tersebut. Mahfud menekankan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga tidak memerlukan revisi undang-undang terlebih dahulu untuk mulai diterapkan.
Sementara itu, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan bahwa putusan MK ini akan menjadi masukan penting dalam agenda reformasi kelembagaan kepolisian. Yusril mengakui selama ini banyak anggota Polri menempati jabatan birokrasi sipil karena celah aturan yang tidak secara tegas melarang. Ia menilai pemerintah perlu membahas mekanisme transisi yang adil untuk anggota Polri yang sudah telanjur menduduki jabatan sipil agar tidak menimbulkan kekosongan jabatan maupun ketidakteraturan administrasi.
Rangkaian putusan MK tersebut menegaskan arah reformasi Polri sebagai institusi profesional, non-politis, dan tidak terlibat dalam jabatan sipil tanpa melepas status keanggotaannya. Pemerintah, DPR, dan Polri diharapkan segera menyusun aturan turunan, mengevaluasi penugasan, serta menata ulang struktur jabatan agar sejalan dengan norma baru. MK berharap keputusan ini memperkuat kepastian hukum sekaligus meningkatkan kualitas tata kelola kepolisian yang bersih, independen, dan fokus pada penegakan hukum. (Iding/bnn)





