
Oleh: Budi Setiawan
“SAYA sedang merencanakan juga bagaimana menaikkan gaji para hakim kita,” ucap Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada Jumat lalu (Kompas.com, 02/05/2025). Hal itu disampaikan sebagai respons atas kekhawatiran publik soal masih maraknya praktik suap dalam lembaga peradilan. Menurutnya, gaji hakim mesti ditingkatkan agar mereka tidak mudah disogok.
Pernyataan itu seolah hendak mengulang retorika lama yang sudah terlalu sering kita dengar: bahwa integritas bisa dibeli dengan slip gaji. Bahwa hakim akan serta-merta menjadi bersih dan bermartabat jika rekening mereka bertambah tebal setiap bulan. Retorika yang menggoda—dan sayangnya juga menyesatkan.
Sebab faktanya, berkali-kali gaji hakim dinaikkan, berkali-kali pula kita disuguhi berita operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK. Sebut saja kasus suap hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar, atau yang lebih mutakhir: OTT terhadap Sekretaris MA Nurhadi, yang menyimpan uang suap ratusan miliar di dalam dinding rumahnya. Bukankah mereka sudah digaji besar? Apakah suap tetap datang karena gajinya belum cukup besar, atau karena memang sistemnya yang memberi ruang kompromi moral?
Kita perlu mengingat kembali rumus klasik Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption (1988):
Korupsi = Monopoli + Diskresi – Akuntabilitas. Dalam dunia kehakiman, seorang hakim kerap memegang kendali penuh atas putusan hukum. Ia memiliki monopoli kewenangan, diberi diskresi luas untuk menafsirkan undang-undang, tapi lemah dalam hal akuntabilitas—baik dari internal maupun eksternal. Maka, lengkaplah syarat terjadinya korupsi, terlepas dari berapa digit gajinya.
Di titik ini, wacana menaikkan gaji menjadi nampak problematik. Jika tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan hakim sebagai bagian dari reformasi kelembagaan, tentu bisa diapresiasi. Namun jika tujuannya sekadar agar “tidak disogok”, maka framing itu terdengar simplistis, bahkan cenderung ofensif. Ia mengasumsikan bahwa semua orang punya harga, tinggal cari angka yang pas.
Insentif moral dalam birokrasi hukum memang penting. Tapi mengabaikan aspek budaya institusional, pengawasan publik, serta pendidikan etika hukum adalah bentuk kelalaian yang tak kalah serius. Gaji besar bisa menjadi penopang integritas, tapi tidak bisa menggantikannya. Apalagi jika para pelanggar hukum dari dalam sistem justru bersembunyi di balik jubah jabatan yang digaji rakyat.
Kalau benar ingin membangun dunia peradilan yang bersih, jangan hanya naikkan gaji—naikkan juga standar etika, transparansi, dan keberanian menindak oknum di dalam tubuh peradilan itu sendiri. Sebab hukum tak bisa ditegakkan oleh orang-orang yang memelintirnya diam-diam sambil mengusap slip gaji mereka dengan bangga. *
* Budi Setiawan, pemerhati sosial politik, mantan jurnalis senior ibukota, alumnus FISIP Universitas Padjadjaran Bandung, bermukim di Kabupaten Subang, Jawa Barat.