
DI balik toga hitam yang dikenakan Amin Rasyid pada Wisuda Gelombang II Universitas Islam Bandung (Unisba) tanggal 23–24 Agustus 2025, tersimpan kisah penuh inspirasi tentang keteguhan hati dan keyakinan pada takdir Allah. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan ini menuntaskan delapan semester studinya dengan predikat Sangat Memuaskan, meraih IPK 3,48. Bagi pria kelahiran Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, capaian ini bukan sekadar titel, melainkan bukti bahwa keterbatasan tak dapat mematahkan semangat untuk berkarya.
Anak sulung dari tiga bersaudara ini lahir dengan penglihatan yang kian melemah sejak kelas dua SD. Awalnya hanya pandangan yang menyempit, namun ia masih mampu membaca dan menulis Al-Qur’an. Memasuki masa SMA, ia belum memahami bahwa dirinya tergolong tuna netra. Selepas lulus, penglihatannya menurun tajam hingga ia tak lagi mampu membaca dan menulis, membuatnya berhenti belajar selama empat tahun.
Titik balik hidupnya hadir pada 2018 ketika memeriksakan diri ke RS Cicendo, Bandung. Dokter menyatakan bahwa kondisinya tidak dapat diperbaiki, baik dengan alat bantu maupun operasi. Namun, nasihat dokter yang menyentuh hati membuatnya bangkit: jangan buang waktu pada hal yang tak bisa diubah, fokuslah pada menuntut ilmu. Sejak saat itu, Amin memulai babak baru.
Tahun 2019 menjadi awal perjalanannya kembali. Ia aktif dalam komunitas tuna netra, mempelajari Al-Qur’an braille, dan menguasai teknologi aksesibilitas. Ia pun mondok di Pesantren Tuna Netra, bertemu para guru yang menginspirasi, dan mantap melanjutkan kuliah di Unisba atas dorongan seorang pengajar yang juga tuna netra.
Di kampus, ia bukan hanya belajar teori, tapi juga meresapi semangat perjuangan para pendiri Unisba. “Saya benar-benar menghayati spirit 3M: Mujahid, Mujtahid, dan Mujaddid. Itu yang membentuk karakter saya selama kuliah,” tuturnya.
Meski fasilitas bagi mahasiswa disabilitas belum maksimal, Amin merasa tidak sendiri. “Banyak teman yang ingin membantu, walau kadang bingung caranya. Kalau saya butuh bantuan, saya minta, dan mereka selalu mendukung,” ungkapnya.
Amin juga aktif di organisasi. Ia terdaftar sebagai anggota HMI dan Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI). Bahkan, ia mengajar Al-Qur’an braille untuk sesama penyandang disabilitas dan pernah mengabdi di Pesantren Tahfidz Tuna Netra Ma’had Sam’an Darushudur, Cimenyan, Kabupaten Bandung.
Yang paling membanggakan, meski tidak bisa lagi membaca mushaf dengan mata, Amin mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an. Antara 2019–2022, ia tekun menghafal dengan metode braille dan audio. Atas prestasi itu, Unisba memberinya Beasiswa Hafidz 30 Juz berupa pembebasan biaya kuliah.
Kini, usai meraih gelar sarjana, Amin memutuskan untuk mengabdi sebagai guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Tasikmalaya. “Saya ingin mendidik anak-anak tuna netra agar mereka mendapat kesempatan belajar yang sama,” katanya.
Baginya, menjadi guru bukan sekadar profesi. “Mengajar adalah ladang pengabdian. Guru adalah penerus dakwah Rasulullah untuk membimbing umat menuju akhlak mulia,” ujarnya penuh keyakinan.
Meski penglihatannya kini tersisa sekitar 10 persen dan mungkin terus berkurang, optimisme Amin tidak pernah pudar. Ia percaya, gelapnya mata tidak berarti gelapnya masa depan. Justru, dari keterbatasan itu ia belajar melihat dengan mata hati.***